Ilmuwan Lacak Kekebalan Malaria di Kamboja

  • Selah Hennessy

Seorang penderita malaria di satu-satunya rumah sakit di Pailin, Kamboja Barat.

Ilmuwan mengidentifikasi genetika parasit malaria yang kebal obat di Kamboja, yang menimbulkan kekhawatiran akan upaya pemberantasan malaria di sana.
Para ilmuwan internasional menerbitkan studi mereka online hari Senin dan memperingatkan bahwa kemanjuran obat utama dalam perang melawan malaria melemah – sehingga nasib ratusan ribu orang terancam bahaya.

Kamboja Barat telah lama dianggap sebagai sarang penyakit malaria. Sejak tahun 1950-an, parasit di sana telah menjadi kebal terhadap dua obat utama anti-malaria, yang pertama Klorokuin dan kemudian kombinasi sulfadoksin dan pirimetamin. Resistensi itu akhirnya menyebar ke bagian lain di Asia dan Afrika.

Profesor Nicholas White adalah salah satu peneliti studi yang diterbitkan hari Senin itu dan juga ketua Wellcome Trust, yang mengelola program program utama luar negeri di Asia Tenggara. Ia mengatakan khawatir sejarah mungkin terulang kembali.

“Sangat disayangkan kekebalan terhadap Cloroquine telah membunuh jutaan anak. Dan sekarang tampaknya resistensi terhadap obat terbaik kita sekarang ini, artemisinin, telah terjadi di Kamboja Barat,” papar White.

Sebuah tim peneliti internasional telah menganalisis susunan genetika 800 parasit penyebab malaria di seluruh dunia.Mereka menemukan bahwa parasit malaria di Kamboja Barat memiliki struktur genetika yang berbeda dari negara-negara lain. Mereka menemukan tiga "sub-populasi" berbeda atau keluarga parasit yang resistan terhadap obat.

White mengatakan ini adalah terobosan besar. “Kami menemukan bahwa kekebalan itu terjadi pada keluarga parasit tertentu dan bahwa parasit tersebut memiliki susunan genetika yang kuat tapi abnormal yang mungkin menimbulkan kecenderungan resistensi. Kami belum benar-benar mengetahui mekanisme resistensi yang tepat tapi setidaknya kami sekarang memiliki sebuah metode untuk melacak resistansi itu dan ini sangat penting,” ujarnya.

Tujuan utama WHO adalah untuk mencegah penyebaran parasit malaria yang kebal terhadap obat-obat utama. Para ilmuwan mengharapkan dengan mengindentifikasi jenis parasit yang kebal itu, para peneliti bisa dengan segera melakukan pengawasan.

Sekarang ini, White mengatakan artemisin adalah obat terbaik di dunia untuk melawan malaria, dan mengatakan obat ini akan terus efektif.

"Jika kekebalan terhadap artemisinin menyebar atau muncul di tempat lain itu akan benar-benar menggagalkan upaya global sekarang ini untuk mengontrol dan memberantas malaria. Jika obat ini kalah, kita akan menghadapi masalah serius,” kata White.

Menurut WHO, pada tahun 2010, ada lebih dari 150 juta penderita malaria di seluruh dunia dan setidaknya 500 ribu kematian akibat malaria. WHO mengatakan angka kematian malaria telah turun lebih dari 25% secara global sejak tahun 2000.