Penyakit strok membuat Heather Rendulic tidak banyak bisa menggerakkan tangan kirinya, sehingga kegiatan sederhana seperti mengikat tali sepatu atau memotong makanan tidak bisa dilakukan.
“Saya hidup dengan satu tangan di dunia [yang semuanya menggunakan] dua tangan. Anda tidak sadar betapa banyaknya hal yang harus Anda lakukan dengan dua tangan hingga Anda hanya memiliki satu yang berfungsi,” jelasnya.
Untuk itulah perempuan berusia 33 tahun asal kota Pittsburgh, Pennsylvania itu menjadi sukarelawan untuk sebuah eksperimen yang dilakukan untuk pertama kalinya di dunia, di mana para peneliti menanam sebuah perangkat elektronik yang menyengat saraf tulang belakangnya pada titik yang mengendalikan pergerakan tangan dan lengan.
Ketika mereka menyalakan perangkat itu, ia dapat mencengkeram dan memanipulasi benda-benda, seperti memindahkan kaleng sup, membuka kunci, hingga pada akhir penelitian di minggu ke-empat, ia dapat memotong daging steik.
Alat itu bukanlah obat, karena kemajuan tadi menghilang begitu para peneliti mencabut implan tersebut. Penelitian perdana itu pun hanya diikuti Heather dan seorang penyintas stroke lainnya. Namun, hasil penelitian yang diterbitkan Februari lalu, menjadi lompatan yang menjanjikan menuju pemulihan mobilitas tubuh dari jenis kelumpuhan yang sangat awam itu.
Lektor Univerity of Pittsburgh Marco Capogrosso, yang memimpin penelitian baru itu bersama para koleganya di Carnegie Mellon University, mengatakan, “Begitu simulasi itu dinyalakan, mereka dapat langsung melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka lakukan sebelumnya.”
Your browser doesn’t support HTML5
Hampir 800.000 orang di AS menderita stroke setiap tahun, yang menjadi penyebab utama kelumpuhan. Bahkan setelah rehabilitasi selama berbulan-bulan, lebih dari separuh penderita berakhir mengalami gangguan fungsi tangan dan lengan permanen, dari otot yang lemah hingga kelumpuhan lebih jauh.
Eksperimen yang dilakukan berbagai kelompok penelitian menemukan bahwa penanaman elektroda untuk menstimulasi tulang belakang bagian bawah menjanjikan pemulihan pergerakan kaki terhadap orang-orang yang mengalami kelumpuhan setelah cedera tulang belakang. Beberapa di antaranya bahkan telah mampu melangkah dengan kaki mereka.
Akan tetapi, kelumpuhan pada bagian tungkai atas tubuh hanya mendapatkan sedikit perhatian dan secara inheren lebih menantang untuk diatasi.
Otak harus memberi sinyal kepada beberapa saraf yang mengendalikan cara bahu terangkat, pergelangan tangan berputar dan melenturkan jari, dan kerusakan yang disebabkan oleh stroke mempersulit sinyal-sinyal itu tersampaikan dengan baik.
Kembali, Heather mengatakan, “Sejujurnya, sebelum percobaan itu, saya tidak berharap bisa pulih. […] Tapi sekarang semua yang kami lakukan menghilangkan keputusasaan itu. Teknologi ini membantu saya pulih dengan cara yang tidak saya kira dapat dilakukan pascastroke.”
Dengan pendanaan Institut Kesehatan Nasional, Marco kini sedang meneliti lebih jauh pendekatan itu terhadap beberapa penyintas stroke lainnya. Para peneliti pun telah mendirikan sebuah perusahaan untuk mengembangkan lebih lanjut teknologi tersebut. [rd/jm]