Imam Feisal Abdul Rauf dari Masjid Al-Farah, New York, mengajak kaum muslim Moderat untuk melawan ekstremisme dengan pendidikan.
Imam Feisal Abdul Rauf dari Masjid Al-Farah, New York, mengajak kaum Muslim yang moderat di mana saja untuk bersatu dan melawan kaum ekstremis, yang sayangnya lebih banyak mendapat perhatian media dibandingkan kaum moderat.
“Tantangan terbesar bagi umat Islam saat ini adalah menghilangkan kebodohan di antara kaum Muslim sendiri. Banyak yang bergairah dengan agamanya namun tidak mengerti nilai-nilai di dalamnya. Seperti keledai yang hanya membawa kitab di punggung tanpa memahaminya dengan hati,” ujar Rauf saat berbicara dalam diskusi di pusat kebudayaan @america di Jakarta pada Kamis (28/6).
“Kaum Muslim banyak yang memperlihatkan religiositas yang berlebihan, dan itu adalah akar dari radikalisme. Hal ini bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad yang mengedepankan etika dan sopan santun. Seperti masakan dengan bumbu yang berlebihan, religiositas yang eksesif juga akan merusak agama itu sendiri,” tambahnya.
Untuk itu, menurut Rauf, kaum moderat harus bersatu serta membentuk tim dan strategi yang baik untuk melawan ekstremisme.
“Kita harus melawan ekstremisme dengan pendidikan dan penyebaran informasi,” ujar Rauf, ketua Cordoba Initiative yang bertujuan meningkatkan hubungan baik antara dunia Islam dan dunia Barat.
Rauf, penulis berbagai buku termasuk “What’s Right with Islam is What’s Right with America” (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Seruan Azan dari Puing WTC”), datang atas undangan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Scot Marciel, mengatakan kedatangan Rauf merupakan kesempatan besar untuk memperkenalkan tokoh Muslim Amerika ternama tersebut dan membuka dialog dengan umat Islam di Indonesia.
“Kami selalu mencoba untuk memberikan informasi mengenai apa yang terjadi di Amerika Serikat. Ini juga upaya untuk mengenal Indonesia lebih baik,” ujarnya.
Diskusi itu dihadiri oleh pelajar SMUN 1 Cikarang Timur serta mahasiswa dari beberapa universitas di Jakarta. Para mahasiswa terutama terlihat antusias dan bertanya mengenai tantangan menjadi Muslim di Amerika dan toleransi beragama di negara tersebut.
Menurut Rauf, masih ada rasa ketidakpercayaan terhadap umat Muslim yang tidak hilang sejak peristiwa 9/11. Namun, ujarnya, ketidakpercayaan tersebut merupakan hal yang wajar dan merupakan bagian dari sejarah kaum imigran.
“Ketika umat Katolik datang ke Amerika Serikat, prasangka terhadap mereka juga besar. Demikian juga ketika kaum Yahudi, orang Irlandia dan lain-lain, mereka juga memiliki masa yang sulit,” kata Rauf.
Menurutnya, umat Islam di Amerika Serikat dilihat sebagai komunitas yang berbeda karena mereka, sebagai imigran, memang berbeda. Untuk itu umat Muslim tersebut harus membangun kelompok Muslim Amerika dengan budaya tersendiri, seperti juga Muslim di Senegal, Indonesia, Maroko dan India yang masing-masing memiliki budaya lain.
“Muslim Amerika harus menjadi interlocutor (peserta dialog yang aktif) dalam demokrasi di Amerika Serikat. Kebijakan luar negeri AS merupakan proyeksi dari situasi domestiknya. Seperti juga para uskup bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri, Muslim Amerika perlu lebih aktif supaya bisa menjadi jembatan antara AS dengan dunia Muslim,” ujar Rauf.
Analis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi, mengatakan bahwa masalah yang ia hadapi sebagai Muslim ketika tinggal selama satu dekade di AS bukanlah dari orang Amerika secara umum, tapi dari kaum Muslim sendiri dari berbagai bangsa.
Ia mengkritik sebagian umat Islam yang dipandangnya berpaham sempit dan tidak memberi ruang pada agama lain. Mochtar menuturkan pengalamannya bertemu orang Muslim yang menganggap bersalaman dengan orang Barat itu adalah najis karena Quran mengatakan demikian.
“Pesan dalam Al-Quran tidak boleh dilihat sepenggal-sepenggal, harus dilihat secara keseluruhan dan konteksnya apa. Kita tidak bisa menganggap agama kita adalah kebenaran satu-satunya. Agama Islam sudah melewati proses yang panjang dan Muslim sudah ada ratusan tahun sebelum agama Islam turun,” kata Mochtar, yang menulis pengantar di buku Rauf versi Bahasa Indonesia.
Sejumlah masyarakat Islam terlalu terbebani oleh luka-luka yang dirasa datang dari Barat, dan karenanya sering bereaksi keras, menganggap orang Barat itu kafir, ujar Mochtar.
“Jika kita berbesar hati, Tuhan tidak mungkin direduksi menjadi Quran, atau Injil, dan lain sebagainya. Banyak yang lupa ketuhanan Tuhan,” jelasnya.
Di lain pihak, Mochtar juga mengkritik Amerika yang terlalu berpihak pada Israel, sesuatu yang berlawanan prinsip-prinsip kesetaraan pada semua orang yang ada dalam konstitusi.
Laporan: Hera Diani (Jakarta).
“Tantangan terbesar bagi umat Islam saat ini adalah menghilangkan kebodohan di antara kaum Muslim sendiri. Banyak yang bergairah dengan agamanya namun tidak mengerti nilai-nilai di dalamnya. Seperti keledai yang hanya membawa kitab di punggung tanpa memahaminya dengan hati,” ujar Rauf saat berbicara dalam diskusi di pusat kebudayaan @america di Jakarta pada Kamis (28/6).
“Kaum Muslim banyak yang memperlihatkan religiositas yang berlebihan, dan itu adalah akar dari radikalisme. Hal ini bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad yang mengedepankan etika dan sopan santun. Seperti masakan dengan bumbu yang berlebihan, religiositas yang eksesif juga akan merusak agama itu sendiri,” tambahnya.
Untuk itu, menurut Rauf, kaum moderat harus bersatu serta membentuk tim dan strategi yang baik untuk melawan ekstremisme.
Rauf, penulis berbagai buku termasuk “What’s Right with Islam is What’s Right with America” (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Seruan Azan dari Puing WTC”), datang atas undangan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Scot Marciel, mengatakan kedatangan Rauf merupakan kesempatan besar untuk memperkenalkan tokoh Muslim Amerika ternama tersebut dan membuka dialog dengan umat Islam di Indonesia.
“Kami selalu mencoba untuk memberikan informasi mengenai apa yang terjadi di Amerika Serikat. Ini juga upaya untuk mengenal Indonesia lebih baik,” ujarnya.
Diskusi itu dihadiri oleh pelajar SMUN 1 Cikarang Timur serta mahasiswa dari beberapa universitas di Jakarta. Para mahasiswa terutama terlihat antusias dan bertanya mengenai tantangan menjadi Muslim di Amerika dan toleransi beragama di negara tersebut.
Menurut Rauf, masih ada rasa ketidakpercayaan terhadap umat Muslim yang tidak hilang sejak peristiwa 9/11. Namun, ujarnya, ketidakpercayaan tersebut merupakan hal yang wajar dan merupakan bagian dari sejarah kaum imigran.
“Ketika umat Katolik datang ke Amerika Serikat, prasangka terhadap mereka juga besar. Demikian juga ketika kaum Yahudi, orang Irlandia dan lain-lain, mereka juga memiliki masa yang sulit,” kata Rauf.
Menurutnya, umat Islam di Amerika Serikat dilihat sebagai komunitas yang berbeda karena mereka, sebagai imigran, memang berbeda. Untuk itu umat Muslim tersebut harus membangun kelompok Muslim Amerika dengan budaya tersendiri, seperti juga Muslim di Senegal, Indonesia, Maroko dan India yang masing-masing memiliki budaya lain.
“Muslim Amerika harus menjadi interlocutor (peserta dialog yang aktif) dalam demokrasi di Amerika Serikat. Kebijakan luar negeri AS merupakan proyeksi dari situasi domestiknya. Seperti juga para uskup bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri, Muslim Amerika perlu lebih aktif supaya bisa menjadi jembatan antara AS dengan dunia Muslim,” ujar Rauf.
Analis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi, mengatakan bahwa masalah yang ia hadapi sebagai Muslim ketika tinggal selama satu dekade di AS bukanlah dari orang Amerika secara umum, tapi dari kaum Muslim sendiri dari berbagai bangsa.
Ia mengkritik sebagian umat Islam yang dipandangnya berpaham sempit dan tidak memberi ruang pada agama lain. Mochtar menuturkan pengalamannya bertemu orang Muslim yang menganggap bersalaman dengan orang Barat itu adalah najis karena Quran mengatakan demikian.
“Pesan dalam Al-Quran tidak boleh dilihat sepenggal-sepenggal, harus dilihat secara keseluruhan dan konteksnya apa. Kita tidak bisa menganggap agama kita adalah kebenaran satu-satunya. Agama Islam sudah melewati proses yang panjang dan Muslim sudah ada ratusan tahun sebelum agama Islam turun,” kata Mochtar, yang menulis pengantar di buku Rauf versi Bahasa Indonesia.
Sejumlah masyarakat Islam terlalu terbebani oleh luka-luka yang dirasa datang dari Barat, dan karenanya sering bereaksi keras, menganggap orang Barat itu kafir, ujar Mochtar.
“Jika kita berbesar hati, Tuhan tidak mungkin direduksi menjadi Quran, atau Injil, dan lain sebagainya. Banyak yang lupa ketuhanan Tuhan,” jelasnya.
Di lain pihak, Mochtar juga mengkritik Amerika yang terlalu berpihak pada Israel, sesuatu yang berlawanan prinsip-prinsip kesetaraan pada semua orang yang ada dalam konstitusi.
Laporan: Hera Diani (Jakarta).