Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mengatakan bahwa penurunan ekonomi China kemungkinan besar akan terus berlanjut hingga empat tahun ke depan. Pasalnya, negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia itu menghadapi sejumlah tantangan mulai dari populasi penduduk yang menua dengan cepat, tingginya tingkat pengangguran, dan krisis properti.
Dalam laporan yang dirilis pada Jumat (2/2), badan kebijakan keuangan global itu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China akan turun menjadi 4,6 persen tahun ini, turun dari pertumbuhan 5,2 persen pada 2023, dan makin menurun lagi menjadi 3,4 persen pada 2028.
Pasar properti, yang secara historis mewakili sekitar seperempat pertumbuhan domestik bruto (PDB) China, telah menjadi bagian yang bermasalah bagi perekonomian China akhir-akhir ini. Pada Senin (29/1), pengadilan Hong Kong mengeluarkan perintah likuidasi untuk raksasa properti, China Evergrande, yang terbelit utang lebih dari $300 miliar.
BACA JUGA: Pengadilan Hong Kong Perintahkan Likuidasi Perusahaan China EvergrandeAnalisis IMF yang dirilis pada Jumat (2/2) memperkirakan investasi real estat kemungkinan akan turun sebesar 30 persen hingga 60 persen dalam sepuluh tahun ke depan dibandingkan dengan level pada 2022.
"Tanpa paket kebijakan restrukturisasi yang komprehensif untuk sektor properti yang bermasalah, investasi real estate bisa turun lebih dari yang diperkirakan, dan lebih lama lagi, dengan implikasi negatif terhadap pertumbuhan dalam negeri dan mitra dagang,” demikian menurut laporan IMF.
Namun, Zhang Zhengxin, direktur eksekutif IMF untuk China tidak setuju dengan temuan IMF dalam pernyataan pada 10 Januari yang disertakan dalam laporan tersebut.
"Laporan tersebut memperingatkan risiko di pasar real estat China, tetapi perkiraan staf, sampai batas tertentu, terlalu pesimistis,” tulis Zhang.
“Sejak Agustus 2023, transaksi pasar real estate mengalami perbaikan secara umum, yang secara bertahap memperkuat kepercayaan pasar.
Krisis real estat terkait erat dengan kebiasaan belanja konsumen China, menurut Christopher Tang, Dekan Senior Global Initiatives di Universitas California Los Angeles Anderson School dan Direktur Fakultas Pusat Manajemen Global UCLA.
Ketika mereka melihat ekuitas investasi rumah mereka menurun, mereka membelanjakan lebih sedikit untuk segala hal – belanja konsumen yang lebih rendah, permintaan yang turun sehingga mengurangi produksi dan karenanya memperlambat pertumbuhan ekonomi,” kata Tang kepada VOA dalam tanggapan melalui email.
“Ada efek domino ketika pasar real estat begitu besar dan terkait dengan pembangunan perumahan yang agresif selama beberapa dekade dan pinjaman yang mudah dari bank.”
Ali Wyne, penasihat penelitian dan advokasi senior AS-China di lembaga kajian "International Crisis Group", mengatakan utang pemerintah daerah dan ketegangan antara China dan negara-negara demokrasi Barat juga menjadi faktor dalam prediksi penurunan ekonomi.
“Bukti yang ada sejauh ini tidak menunjukkan bahwa 'hard landing' akan segera terjadi, tetpai hal ini menunjukkan bahwa hambatan pertumbuhan China lebih sulit diatasi dibandingkan satu dekade yang lalu atau bahkan pada awal tahun 2020an,” kata Wyne kepada VOA melalui email.
BACA JUGA: IMF Ramalkan Prospek Ekonomi Dunia Memburuk akibat Konflik Israel-HamasIMF merekomendasikan agar pemerintah China mendorong warganya untuk mencari cara investasi baru dan melakukan reformasi yang berorientasi pasar, antara lain, untuk meningkatkan perekonomian negara, menurut laporan tersebut.
Tang mengatakan China perlu mempromosikan kebijakan ekonomi baru dari sisi permintaan dan melonggarkan peraturan pasar.
“China perlu mempromosikan pasar yang lebih bebas untuk mendukung persaingan pasar yang dapat menstimulasi lapangan kerja melalui kewirausahaan dan startup baru serta mengurangi fokusnya pada perusahaan milik negara yang kurang memiliki insentif untuk berinovasi dan bersaing,” tulis Tang. [ft/pp]