Sejumlah negara mensyaratkan kehadiran Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 yang akan berlangsung di Bali, November tahun ini, jika Indonesia tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin. Bahkan beberapa negara sudah menyatakan akan memboikot KTT G20 kalau Putin hadir tanpa Zelenskyy.
Dalam jumpa pers mingguan digelar, Kamis (14/4), juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menyatakan belum bisa memastikan apakah Indonesia akan mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dalam perhelatan akbar itu. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, ujarnya, masih terus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan beragam pihak untuk menyikapi perkembangan terkait perang Rusia di Ukraina.
BACA JUGA: Indonesia Serukan Penyelidikan ‘Independen’ atas Dugaan Genosida di Bucha Ukraina"Melalui konsultasi tersebut, kita bisa memetakan bagaimana sisi pandang negara-negara atas arti penting pertemuan G20 itu sendiri dalam merespon berbagai tantangan yang terjadi di saat sekarang, dalam kita mengatasi tantangan ekonomi yang betul-betul menjadi satu tekanan. Tentunya kita juga mendengarkan pandangan merea tas isu-isu yang banyak dilontarkan beberapa pemimpin dunia di saat sekarang," kata Faizasyah.
Tapi Faizasyah mengakui tidak dapat mengungkapkan hasil konsultasi Retno dengan beragam negara karena sebagian besar bersifat rahasia. Menlu Retno, tambahnya, juga akan berkonsutasi dengan sejumlah negara Eropa terkait hal ini.
KTT G20 Diserukan Fokus pada Isu Stabilitas Ekonomi
Pengamat politik internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto mengatakan Forum G20 nantinya tidak akan membahas mengenai perang Rusia di Ukraina tetapi mendiskusikan bagaimana perang tersebut telah mengganggu stabilitas ekonomi dunia.
BACA JUGA: Jubir Kemlu: Sikap Abstain Bukan Berarti Tidak PrihatinMenurutnya para pemimpin negara anggota G20 perlu dampak luas yang dirasakan banyak negara akibat konflik yang berlangsung sejak 24 Februari lalu itu. Terlebih karena dunia masih belum lepas dari situasi pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi global masih tersendat-sendat.
Secara normatif, lanjut Nanto, konflik Rusia-Ukraina bisa dibahas di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau jika perlu di Dewan Keamanan. Sedangkan Forum G20 tetap fokus pada dampak perang tersebut terhadap stabilitas ekonomi dunia.
Your browser doesn’t support HTML5
"Memang kita harus akui ada ketidakimbangan kekuatan di mana satu negara bisa mendorong agenda yang sebenarnya tidak terlalu relevan pada satu topik. Dalam konteks ini, Indonesia harus menjadi dirigen yang baik. Pada prakteknya jabatan Presidensi G20 ini mengelola kepentingan banyak pihak, kemudian bisa menempatkan fungsi G20 itu sendiri," ujar Nanto.
Nanto mencontohkan bagaimana setelah serangan 11 September 2001 di New York dan Washington DC, Amerika menjadikan isu terorisme masuk dalam beragam agenda kerjasama di berbagai forum multilateral.
BACA JUGA: AS akan Masukkan Isu Ukraina dalam Agenda G-20, Posisi Indonesia TerjepitNanto mengatakan sebelum perang Rusia di Ukraina meletup, Indonesia sebagai Presiden G20 telah menjadikan kebangkitan dan pemulihan ekonomi global sebagai tema besar. Namun dengan perang yang terjadi, agendanya harus disesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini.
Ditambahkannya, Indonesia harus pandai mengkompromikan kepentingan antara Rusia dan negara-negara anti-Rusia di dalam G20.
Dalam berbagai kesempatan forum multilateral dan pertemuan bilateral, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi konsisiten menyatakan posisi Indonesia terhadap perang Rusia di Ukraina, yaitu agar perang dapat segera dihentikan. Indonesia juga menilai invasi Rusia ke Ukraina melanggar kedaulatan wilayah negara lain.
Perang yang terjadi sejak 24 Februari itu telah memaksa lebih dari sepuluh juta orang mengungsi dan ribuan lainnya tewas. Perang ini juga membuat harga energi dan bahan pangan global melesat. [fw/em]