Indonesia dipuji karena kenetralan dan kemampuan mediasinya dalam menengahi konflik terkait Laut Cina Selatan.
Di tengah gelombang kemarahan karena klaim-klaim atas Laut Cina Selatan, Indonesia muncul sebagai suara yang tenang, berusaha melakukan mediasi atas perselisihan yang melibatkan Tiongkok, Vietnam, Filipina, Taiwan dan Malaysia.
Patroli dari Tiongkok di perairan yang juga diklaim oleh Vietnam dan Filipina meningkatkan ketegangan di Laut Cina Selatan yang kaya mineral itu.
Para pemrotes dari Vietnam mengecam apa yang mereka sebut sebagai invasi Tiongkok setelah pemerintahan di Beijing memutuskan untuk mengikuti tender untuk blok-blok minyak di pantai Vietnam. Pemerintah Vietnam telah mengeluarkan undang-undang yang mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau yang diperselisihkan tersebut.
Pertentangan ini begitu dalam sampai-sampai memblok pernyataan bersama dari ASEAN untuk pertama kalinya dalam sejarah asosiasi ini.
“Hubungan antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN adalah multidimensi. Seharusnya tidak dirusak oleh isu Laut Cina Selatan,” ujar juru bicara ASEAN Danny Lee.
Di tengah kekisruhan ini muncul Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, yang berusaha menjaga ASEAN agar tidak pecah.
"ASEAN akan selalu bersatu, kohesif dalam semua isu yang menjadi perhatian bersama, tidak terkecuali, dan terutama isu Laut Cina Selatan,” ujar Marty.
Dari Phnom Penh ke Manila, Bangkok sampai Hanoi, Marty mendorong kerangka regional untuk menyelesaikan klaim-klaim maritim tersebut.
“Kami memang memerlukan Kode Etik untuk Laut Cina Selatan, semacam peraturan untuk mengelola dan menyelesaikan potensi konflik di wilayah ini,” ujar Marty.
Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, kenetralan Indonesia membantu mendinginkan situasi yang panas.
“Indonesia menjadi semacam titik tumpu, mencoba tetap di tengah, di manapun titik tengah itu berada. Saya kira peran negara tersebut akan bergerak maju. Status Indonesia telah meningkat seiring hasil dari diplomasi yang dijalankannya,” ujar Justin Logan, direktur studi kebijakan luar negeri di Cato Institute, AS.
Logan mengatakan bahwa mediasi yang dilakukan Indonesia penting terutama karena Tiongkok telah membuka garnisun militer di pulau yang diklaim oleh Vietnam dan Taiwan.
“Dan saya kira Indonesia berhasil tetap menjadi jangkar di tengah sementara negara-negara lain telah menjauh dari titik tengah,” ujar Logan.
Para pejabat senior AS mengatakan bahwa Indonesia telah menjalankan peran yang instrumental tidak hanya dalam membuka prospek diskusi mengenai Laut Cina Selatan, namun juga dalam mendorong pihak militer Burma untuk melakukan reformasi politik dan ekonomi yang membantu membawa pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi ke parlemen.
Patroli dari Tiongkok di perairan yang juga diklaim oleh Vietnam dan Filipina meningkatkan ketegangan di Laut Cina Selatan yang kaya mineral itu.
Para pemrotes dari Vietnam mengecam apa yang mereka sebut sebagai invasi Tiongkok setelah pemerintahan di Beijing memutuskan untuk mengikuti tender untuk blok-blok minyak di pantai Vietnam. Pemerintah Vietnam telah mengeluarkan undang-undang yang mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau yang diperselisihkan tersebut.
Pertentangan ini begitu dalam sampai-sampai memblok pernyataan bersama dari ASEAN untuk pertama kalinya dalam sejarah asosiasi ini.
“Hubungan antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN adalah multidimensi. Seharusnya tidak dirusak oleh isu Laut Cina Selatan,” ujar juru bicara ASEAN Danny Lee.
Di tengah kekisruhan ini muncul Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, yang berusaha menjaga ASEAN agar tidak pecah.
"ASEAN akan selalu bersatu, kohesif dalam semua isu yang menjadi perhatian bersama, tidak terkecuali, dan terutama isu Laut Cina Selatan,” ujar Marty.
Dari Phnom Penh ke Manila, Bangkok sampai Hanoi, Marty mendorong kerangka regional untuk menyelesaikan klaim-klaim maritim tersebut.
“Kami memang memerlukan Kode Etik untuk Laut Cina Selatan, semacam peraturan untuk mengelola dan menyelesaikan potensi konflik di wilayah ini,” ujar Marty.
Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, kenetralan Indonesia membantu mendinginkan situasi yang panas.
“Indonesia menjadi semacam titik tumpu, mencoba tetap di tengah, di manapun titik tengah itu berada. Saya kira peran negara tersebut akan bergerak maju. Status Indonesia telah meningkat seiring hasil dari diplomasi yang dijalankannya,” ujar Justin Logan, direktur studi kebijakan luar negeri di Cato Institute, AS.
Logan mengatakan bahwa mediasi yang dilakukan Indonesia penting terutama karena Tiongkok telah membuka garnisun militer di pulau yang diklaim oleh Vietnam dan Taiwan.
“Dan saya kira Indonesia berhasil tetap menjadi jangkar di tengah sementara negara-negara lain telah menjauh dari titik tengah,” ujar Logan.
Para pejabat senior AS mengatakan bahwa Indonesia telah menjalankan peran yang instrumental tidak hanya dalam membuka prospek diskusi mengenai Laut Cina Selatan, namun juga dalam mendorong pihak militer Burma untuk melakukan reformasi politik dan ekonomi yang membantu membawa pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi ke parlemen.