Indonesia Dapat Kembali Impor Beras Akibat Kenaikan Harga, El Nino

Suasana di gudang beras BULOG di Jakarta. (Foto: Dok)

Indonesia telah menetapkan dan gagal memenuhi beberapa target swasembada pangan dalam enam tahun terakhir.

Presiden Joko Widodo dapat terpaksa melanggar janjinya untuk mengekang impor beras, karena para analis mengatakan Indonesia mungkin akan mengimpor sebanyak 1,6 juta beras tahun ini akibat lonjakan harga dalam negeri dan ancaman El Nino yang kuat.

Presiden Jokowi telah secara agresif mengejar swasembada beragam pangan sebagai bagian dari pendekatan yang semakin nasionalistik untuk melindungi petani, mengurangi impor negara atas beras di mana pembelian beras oleh swasta dari luar negeri telah dilarang selama berpuluh tahun.

Namun daripada menghadapi risiko lonjakan inflasi makanan yang dapat mendorong keresahan sosial, beberapa analis memperkirakan pemerintah akan mengimpor beras dengan volume lebih tinggi daripada 1,1 juta ton yang diperkirakan untuk tahun lalu, mempertahankan posisinya sebagai salah satu pembeli teratas beras impor di dunia.

"Terkadang kebijakan Indonesia tidak terlalu rasional. Saat ini harga-harga internasional sangat rendah dan pada saat yang sama persediaan beras Indonesia tidak terangkat dibandingkan dengan tingkat-tingkat yang kita lihat dalam 10 tahun terakhir," ujar Aurelia Britsch, analis komoditas senior di BMI Research di Singapura.

Meski menarik janji pemilu akan memalukan untuk Presiden, langkah itu dapat menjadi kabar baik bagi eksportir-eksportir beras utama seperti Thailand dan Vietnam, meningkatkan harga-harga beras Thailand yang telah jatuh sekitar 7 persen pada 2015.

Britsch dari BMI memperkirakan Indonesia akan mengimpor 1,3 juta ton sampai 1,6 juta ton tahun ini, sementara Rabobank memperkirakan 1,5 juta ton, Barclays 1 juta ton sampai 1,5 juta ton dan Dewan Biji-bijian Internasional (IGC) 1,3 juta ton.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil telah mengatakan bahwa Indonesia mungkin akan perlu mengimpor dengan keputusan yang diambil kemungkinan besar awal Juni. Sementara itu Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno mengatakan minggu lalu bahwa Presiden telah memberi lampu hijau jika impor cepat diperlukan.

Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto pada hari Kamis (21/5) mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa: "Sampai hari ini, keputusannya adalah untuk tidak mengimpor."

Persediaan beras negara saat ini mencapai sekitar 1,2 juta ton, menurut para pejabat pemerintah minggu lalu, dibandingkan dengan hampir 2 juta ton sekitar pertengahan 2014.

Saat ini ada pembicaraan di kalangan pedagang beras di Vietnam bahwa delegasi Indonesia akan mengunjungi mereka dalam beberapa minggu ke depan untuk membahas kemungkinan pembelian. Seorang pejabat dari Badan Urusan Logistik (Bulog) mengatakan ia tidak tahu mengenai kunjungan tersebut.

El Nino

Tiga bulan lalu Presiden Jokowi menolak mengizinkan impor beras, namun peningkatan harga-harga domestik dan pasokan lokal yang gagal memenuhi permintaan, peningkatan konsumsi dalam bulan Ramadan mulai Juni dan ancaman El Nino dapat memaksanya berubah pikiran.

Prakiraan cuaca oleh Jepang minggu lalu mengukuhkan bahwa El Nino yang intensitasnya meningkat telah terjadi, dan para petani beras Indonesia terancam oleh kondisi-kondisi kemarau yang biasanya dibawa pola cuaca tersebut ke wilayah ini.

Indonesia telah menetapkan dan gagal memenuhi beberapa target swasembada pangan dalam enam tahun terakhir.

Harga beras grosir mencapai sekitar Rp 10.100 per kilogram bulan lalu, tertinggi kedua di wilayah ini setelah Rp 10.300 per kilogram di Filipina, yang juga memiliki kebijakan-kebijakan swasembada, dan jauh lebih tinggi daripada urutan ketiga, China, pada Rp 8.400, menurut David Dawe, ekonom senior pada Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian di Bangkok.

Harga beras ritel telah naik 13 persen dalam setahun terakhir, dan sumber-sumber industri memperkirakan harga-harga akan naik 5-7 persen sekitar Ramadan.

"Keinginan untuk swasembada memicu harga-harga yang lebih tinggi jika dilakukan melalui pembatasan-pembatasan impor," ujar Dawe.

"Jika dilakukan dengan perdagangan terbuka dan peningkatan produktivitas, maka harga akan turun dan tidak akan ada insentif untuk impor."