Peraturan-peraturan pertambangan yang baru menyebabkan ketidakpastian dalam industri, yang sudah terkena dampak penurunan komoditas global.
Akhir September lalu, Peter Wesser dan sekelompok pengusaha eksplorasi mineral veteran bertemu di Hotel Kristal di Jakarta untuk bertukar cerita dan berita. Agenda pertemuannya adalah untuk mencari cara bagaimana mempertahankan usaha.
Selama berdekade, para pengeksplorasi telah menikmati pertumbuhan pertambangan di Indonesia yang pesat, mencari cadangan mineral baru yang prosesnya membutuhkan waktu tahunan dan biaya ratusan juta dolar sebelum mendapat keuntungan.
Namun sekarang mereka mengeluhkan peraturan-peraturan baru yang bertujuan menaikkan pendapatan negara dari sumber daya alam, yang telah mengurangi investasi dalam pencarian mineral dan dapat mengancam sektor senilai US$93 miliar itu.
“Secara alami eksplorasi itu optimistik,” ujar Wesser, 73, warga negara Indonesia dari orangtua berkebangsaan Belanda, yang memiliki pengalaman puluhan tahun dalam sektor pertambangan.
“Pemerintah tidak paham pentingnya eksplorasi.. Tanpa eksplorasi, industri pertambangan akan merosot.”
Pengusaha eksplorasi bukan satu-satunya yang mengalami kesulitan akibat peraturan yang telah menyebabkan ketidakpastian secara luas dalam industri di Indonesia, menyusul dampak penurunan komoditas global.
Para penambang kecil khususnya telah terkena pukulan ini, menyebabkan penutupan tambang dan perampingan pegawai di daerah-daerah seperti Sulawesi. Beberapa diantaranya menyogok pejabat pemerintah pusat supaya dapat terus mengekspor, menurut empat eksekutif pertambangan dalam suatu wawancara.
Sebuah analisis data resmi menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut telah menyebabkan penurunan dalam ekspor bijih besi, sehingga pembeli utama dari Tiongkok mencari pasokan dari tempat lain.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang melakukan reformasi sektor mineral dengan tujuan menjadikan Indonesia termasuk 10 teratas dalam ekonomi global pada 2025.
Pertambangan menyumbangkan 12 persen untuk Produk Domestik Bruto (PDB), dan Indonesia merupakan pemimpin dalam pasar global untuk ekspor bijih nikel, batubara termal dan timah refinasi, sementara ekspor bauksit telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir.
“Jika kita tidak memulai upaya untuk menaikkan nilai tambah pertambangan, ekonomi akan dijajah terus selamanya,” ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini.
Peraturan-peraturan tersebut membatasi ekspor bijih besi mentah, memaksa pengusaha tambang asing untuk melepaskan lebih dari setengah asetnya setelah 10 tahun produksi dan memroses bijih besi secara domestik pada 2014.
Naik Lalu Terpuruk
Dampak paling dramatis dari peraturan-peraturan baru tersebut adalah mengenai ekspor mineral, yang melonjak saat para perusahaan berjuang mengalahkan tenggat pajak ekspor 6 Mei dan terpuruk sesudahnya.
Pada Agustus, impor bijih nikel Tiongkok dari Indonesia turun 39 persen menjadi 1,48 juta ton, menyusul penurunan tajam pada Juli dan Juni, menurut data dari Tionkgok. Impor Tiongkok dari Filipina naik dobel dalam periode yang sama.
Tapi dampak yang paling nyata untuk sumber daya manusia paling terlihat di komunitas-komunitas pertambangan di Sulawesi, yang merupakan sumber utama Indonesia untuk nikel.
Sebelum regulasi tersebut berlaku pada Mei, selusin kapal dapat terlihat di pelabuhan Kolaka, menunggu pengumpulan bijih nikel yang diangkut oleh berarmada truk dari bukit-bukit terdekat ke dermaga. Sekarang, pelabuhan-pelabuhan utama tampak sepi dan hanya ada para petugas keamanan yang menjaga tumpukan lumpur yang dibiarkan begitu saja. Para pekerja di Sulawesi mengatakan situasi untuk para penambang lebih buruk saat ini dibanding 2009 ketika krisis finansial global menghantam ekspor komoditas di seluruh dunia.
Penderitaan Rasiun, ayah tiga anak, menggambarkan dampak tersebut untuk para penambang. Mantan nelayan dan petani itu menjual tanahnya pada perusahaan tambang Prima Nusa Sentosa, yang menawarkannya $5 per hari untuk menutup bijih nikel dengan terpal supaya tidak terkena hujan.
Ketika tambang ditutup karena peraturan baru, ia kehilangan pekerjaannya. Namun ia tidak dapat kembali menjadi nelayan karena polusi dari pertambangan membuat laut berwarna merah, membuatnya mustahil kembali mencari ikan.
“Kami pikir kami dapat mengubah nasib kami lewat perusahaan tersebut. Lahan-lahan kami sekarang dimiliki perusahaan dan reside dari perusahaan telah mengalir ke laut. Jadi kami sekarang menganggur,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa ia “setengah mati” karena tidak tahu bagaimana memberi makan keluarganya.
Penemuan Kelas Dunia
Ribuan perusahaan terkena dampak peraturan dan ada tumpukan pekerjaan yang tertunda di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta karena banyak yang mencari ijin, kuota dan rekomendasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan ekspor.
Untuk memotong birokrasi, para penambang biasanya membayar antara $500.000 sampai $1,5 juta, ujar seorang eksekutif senior pertambangan, yang menolak disebutkan namanya. Tiga eksekutif lain juga mengatakan bahwa sogokan itu wajib.
"Para perusahaan tambang harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Energi. Apa yang dimaksud dengan ‘rekomendasi’ di sini? Anda harus mengusahakannya sendiri,” ujar Juanforti Silalahi, juru bicara serikat penambang Spartan.
Kementerian Energi menyangkal bahwa ada korupsi dalam proses perijinan.
Peraturan-peraturan baru ini tidak berlaku bagi perusahaan tambang yang memegang Kontrak Kerja (Contracts of Work, CoW), termasuk nama-nama terkenal dalam industri seperti Freeport McMoRan Copper & Gold Inc, Newmont Mining Corp dan Vale.
Peraturan-peraturan tersebut juga tidak berlaku pagi produsen batubara, meski bagi kedua kelompok ini, ada kekhawatiran peraturan-peraturan tersebut akan mendorong royalti yang lebih tinggi untuk pemerintah.
Tidak jelas apakah penurunan ekspor, yang terjadi seiring gejolak finansial yang memotong sekitar seperempat harga bijih besi dan batubara termal tahun ini dan menghentikan investasi pertambangan besar di Australia, merupakan guncangan sementara atau bagian dari reposisi yang akan mencederai sektor pertambangan untuk satu generasi.
Para anggota Forum Eksplorasi dan Pertumbuhan Mineral sendiri pesimis akan usaha mereka, yang penting bagi pertumbuhan industri dalam jangka panjang.
Perusahaan Wesser yang terakhir, Oxindo, pengeksplorasi tembaga yang dimiliki grup perusahaan tambang TIongkok, MMG, menutup kantornya di Jakarta September, salah satu dari lima anggota grup yang berhenti sejak Mei.
“Tidak akan ada lagi penemuan kelas dunia di Indonesia,” ujar ketua forum Malcolm Baillie. Padahal Indoensia memiliki kandungan emas terbesar di dunia. (Reuters/Fergus Jensen dan Neil Chatterjee)
Selama berdekade, para pengeksplorasi telah menikmati pertumbuhan pertambangan di Indonesia yang pesat, mencari cadangan mineral baru yang prosesnya membutuhkan waktu tahunan dan biaya ratusan juta dolar sebelum mendapat keuntungan.
Namun sekarang mereka mengeluhkan peraturan-peraturan baru yang bertujuan menaikkan pendapatan negara dari sumber daya alam, yang telah mengurangi investasi dalam pencarian mineral dan dapat mengancam sektor senilai US$93 miliar itu.
“Secara alami eksplorasi itu optimistik,” ujar Wesser, 73, warga negara Indonesia dari orangtua berkebangsaan Belanda, yang memiliki pengalaman puluhan tahun dalam sektor pertambangan.
“Pemerintah tidak paham pentingnya eksplorasi.. Tanpa eksplorasi, industri pertambangan akan merosot.”
Pengusaha eksplorasi bukan satu-satunya yang mengalami kesulitan akibat peraturan yang telah menyebabkan ketidakpastian secara luas dalam industri di Indonesia, menyusul dampak penurunan komoditas global.
Para penambang kecil khususnya telah terkena pukulan ini, menyebabkan penutupan tambang dan perampingan pegawai di daerah-daerah seperti Sulawesi. Beberapa diantaranya menyogok pejabat pemerintah pusat supaya dapat terus mengekspor, menurut empat eksekutif pertambangan dalam suatu wawancara.
Sebuah analisis data resmi menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut telah menyebabkan penurunan dalam ekspor bijih besi, sehingga pembeli utama dari Tiongkok mencari pasokan dari tempat lain.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang melakukan reformasi sektor mineral dengan tujuan menjadikan Indonesia termasuk 10 teratas dalam ekonomi global pada 2025.
Pertambangan menyumbangkan 12 persen untuk Produk Domestik Bruto (PDB), dan Indonesia merupakan pemimpin dalam pasar global untuk ekspor bijih nikel, batubara termal dan timah refinasi, sementara ekspor bauksit telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir.
“Jika kita tidak memulai upaya untuk menaikkan nilai tambah pertambangan, ekonomi akan dijajah terus selamanya,” ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini.
Peraturan-peraturan tersebut membatasi ekspor bijih besi mentah, memaksa pengusaha tambang asing untuk melepaskan lebih dari setengah asetnya setelah 10 tahun produksi dan memroses bijih besi secara domestik pada 2014.
Naik Lalu Terpuruk
Dampak paling dramatis dari peraturan-peraturan baru tersebut adalah mengenai ekspor mineral, yang melonjak saat para perusahaan berjuang mengalahkan tenggat pajak ekspor 6 Mei dan terpuruk sesudahnya.
Pada Agustus, impor bijih nikel Tiongkok dari Indonesia turun 39 persen menjadi 1,48 juta ton, menyusul penurunan tajam pada Juli dan Juni, menurut data dari Tionkgok. Impor Tiongkok dari Filipina naik dobel dalam periode yang sama.
Tapi dampak yang paling nyata untuk sumber daya manusia paling terlihat di komunitas-komunitas pertambangan di Sulawesi, yang merupakan sumber utama Indonesia untuk nikel.
Sebelum regulasi tersebut berlaku pada Mei, selusin kapal dapat terlihat di pelabuhan Kolaka, menunggu pengumpulan bijih nikel yang diangkut oleh berarmada truk dari bukit-bukit terdekat ke dermaga. Sekarang, pelabuhan-pelabuhan utama tampak sepi dan hanya ada para petugas keamanan yang menjaga tumpukan lumpur yang dibiarkan begitu saja. Para pekerja di Sulawesi mengatakan situasi untuk para penambang lebih buruk saat ini dibanding 2009 ketika krisis finansial global menghantam ekspor komoditas di seluruh dunia.
Penderitaan Rasiun, ayah tiga anak, menggambarkan dampak tersebut untuk para penambang. Mantan nelayan dan petani itu menjual tanahnya pada perusahaan tambang Prima Nusa Sentosa, yang menawarkannya $5 per hari untuk menutup bijih nikel dengan terpal supaya tidak terkena hujan.
Ketika tambang ditutup karena peraturan baru, ia kehilangan pekerjaannya. Namun ia tidak dapat kembali menjadi nelayan karena polusi dari pertambangan membuat laut berwarna merah, membuatnya mustahil kembali mencari ikan.
“Kami pikir kami dapat mengubah nasib kami lewat perusahaan tersebut. Lahan-lahan kami sekarang dimiliki perusahaan dan reside dari perusahaan telah mengalir ke laut. Jadi kami sekarang menganggur,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa ia “setengah mati” karena tidak tahu bagaimana memberi makan keluarganya.
Penemuan Kelas Dunia
Ribuan perusahaan terkena dampak peraturan dan ada tumpukan pekerjaan yang tertunda di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta karena banyak yang mencari ijin, kuota dan rekomendasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan ekspor.
Untuk memotong birokrasi, para penambang biasanya membayar antara $500.000 sampai $1,5 juta, ujar seorang eksekutif senior pertambangan, yang menolak disebutkan namanya. Tiga eksekutif lain juga mengatakan bahwa sogokan itu wajib.
"Para perusahaan tambang harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Energi. Apa yang dimaksud dengan ‘rekomendasi’ di sini? Anda harus mengusahakannya sendiri,” ujar Juanforti Silalahi, juru bicara serikat penambang Spartan.
Kementerian Energi menyangkal bahwa ada korupsi dalam proses perijinan.
Peraturan-peraturan baru ini tidak berlaku bagi perusahaan tambang yang memegang Kontrak Kerja (Contracts of Work, CoW), termasuk nama-nama terkenal dalam industri seperti Freeport McMoRan Copper & Gold Inc, Newmont Mining Corp dan Vale.
Peraturan-peraturan tersebut juga tidak berlaku pagi produsen batubara, meski bagi kedua kelompok ini, ada kekhawatiran peraturan-peraturan tersebut akan mendorong royalti yang lebih tinggi untuk pemerintah.
Tidak jelas apakah penurunan ekspor, yang terjadi seiring gejolak finansial yang memotong sekitar seperempat harga bijih besi dan batubara termal tahun ini dan menghentikan investasi pertambangan besar di Australia, merupakan guncangan sementara atau bagian dari reposisi yang akan mencederai sektor pertambangan untuk satu generasi.
Para anggota Forum Eksplorasi dan Pertumbuhan Mineral sendiri pesimis akan usaha mereka, yang penting bagi pertumbuhan industri dalam jangka panjang.
Perusahaan Wesser yang terakhir, Oxindo, pengeksplorasi tembaga yang dimiliki grup perusahaan tambang TIongkok, MMG, menutup kantornya di Jakarta September, salah satu dari lima anggota grup yang berhenti sejak Mei.
“Tidak akan ada lagi penemuan kelas dunia di Indonesia,” ujar ketua forum Malcolm Baillie. Padahal Indoensia memiliki kandungan emas terbesar di dunia. (Reuters/Fergus Jensen dan Neil Chatterjee)