Indonesia Kekurangan Hakim Kasus Peradilan Terorisme

  • Muliarta

Jean-Paul Laborde, Chief of the Terrorism Prevention Branch, PBB.

Proses penegakan hukum terhadap pelaku teror di Indonesia dinilai belum optimal, diperkirakan akibat minimnya jumlah hakim yang mampu menangani kasus terorisme.

Indonesia saat ini mengalami kekurangan jumlah hakim yang khusus menangani kasus-kasus peradilan terorisme. Terutama hakim yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan proses peradilan terhadap para pelaku teror.

Kondisi ini yang disinyalir menjadi salah satu penyebab putusan hakim sering tidak memberikan hukuman yang setimpal atau sesuai dengan kejahatan para pelaku teror. Demikian disampaikan Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata, Kementrian Luar Negeri, Febrian Alphyanto Ruddyard pada keteranganya disela-sela lokakarya regional mengenai implementasi strategi PBB dalam penanggulangan terorisme global di kawasan Asia Tenggara di Nusa Dua Bali pada Kamis Siang.

Menurut Febrian, vonis yang tidak maksimal dari hakim menjadi salah satu sumber ketakutan masyarakat karena rata-rata dalam waktu kurang dari 10 tahun pelaku teror tersebut telah bebas dan dapat kembali melakukan aksi terorisme. Febrian mengungkapkan kekurangan lain dalam proses pemberantasan terorisme di Indonesia saat ini yaitu kurangnya pendekatan deradikalisme untuk mengubah pola pikir pelaku teror agar tidak lagi melakukan aksi-aksi terorisme.

”Jadi ada suatu program untuk membuat pelaku-pelaku terorisme itu berpindah cara berpikirnya, salah satunya program deradikalisasi. Pembinaan, kan penanggulangan tidak hanya kuratif , preventifnya apa dan kemudian setelah itu lanjutannya seperti apa,” jelas Febrian Ruddyard.

Peringatan mengenang korban bom Bali tahun 2002 di Kuta Bali (12 Oktober 2010).

Sedangkan Chief of the Terrorism Prevention Branch (Kepala Kantor Pelaksana tugas PBB Bidang Penanggulangan Terorisme), Jean-Paul Laborde menyatakan perlu adanya kebijakan komprehensif dalam menangani kejahatan terorisme. Baik dari segi penegakan hukum hingga rehabilitasi bagi para korban terorisme.

”Kita punya dokumen diantaranya patokan penegakan hukum, konvensi dan instrumen hukum lainnya yang bersifat mengikat. Anda bisa melakukan apa saja untuk menekan teroris, tetapi tidak akan ada artinya jika tidak melibatkan semua elemen secara komprehensif. Teroris juga memiliki berbagai dimensi, salah satunya tentang korban aksi terorisme. Jangan berbicara terorisme tanpa membahas korban,” kata Laborde.

Menurut Jean-Paul Laborde, Indonesia merupakan salah satu contoh maju dalam penanganan terorisme yang kini tidak saja mengandalkan penanggulangan kejahatan terorisme dengan kekuatan militer tetapi juga melakukan pendekatan melalui toleransi dan deradikalisasi.