Amerika Serikat pada Jumat (7/4) dini hari melancarkan serangan udara terhadap pangkalan udara Syairat milik pemerintah Suriah di Provinsi Homs.
Dalam serangan yang dilancarkan selama sejam mulai pukul 01.40 itu, dua kapal perusak Amerika di Laut Mediterania, USS Ross dan USS Porter, menembakkan 59 peluru kendali Tomahawk ke arah sasaran.
Menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), serangan militer Amerika pertama ke target milik pemerintah Suriah ini menewaskan paling tidak lima tentara Suriah, serta menghancurkan sembilan jet tempur, sebuah tangki bahan bakar, dan menghancurkan dua landasan pacu.
Presiden Amerika Donald Trump memerintahkan gempuran udara itu setelah militer Suriah awal pekan ini diduga kuat melakukan serangan gas sarin, senjata kimia terlarang yang digunakan dalam perang, ke Provinsi Idlib. Insiden itu menewaskan 80 orang, termasuk anak-anak. Jet tempur melakukan serangan gas beracun tersebut diyakini terbang dari pangkalan udara Syairat di Homs.
Dalam jumpa pers mingguan di kantornya Jumat (7/4), Juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir menyatakan pemerintah Indonesia mengutuk penggunaan senjata kimia oleh siapapun dan untuk tujuan apapun.
Pada saat yang sama, lanjut Arrmanatha, Indonesia prihatin atas serangan unilateral oleh pihak manapun, termasuk penggunaan rudal Tomahawk, dalam merespon tragedi senjata kimia di Suriah. Tindakan militer yang dilakukan tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum internasional dalam menyelesaikan konflik secara damai, sebagaimana disebutkan dalam piagam PBB.
"Bagi Indonesia, perdamaian dan stabilitas di Suriah hanya dapat tercapai melalui dialog, proses politik inklusif dengan menekankan agar semua pihak menahan diri serta menghentikan seluruh tindak kekerasan, menghormati dan melindungi hak asasi manusia, menyelesaikan konflik melalui perundingan dan diplomasi dan tentunya kita harapkan terus dibukanya akses kemanusiaan agar bantuan kemanusiaan bisa masuk ke Suriah," ujar Arrmanatha.
Arrmanatha menambahkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terus berkoordinasi dengan perwakilan tetap Indonesia di PBB dan Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat. Selain itu, tambah Arrmanatha, Indonesia terus mendorong dan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk segera mengambil langkah agar situasi dan masalah di Suriah dapat segera diselesaikan.
Meski konflik Suriah memasuki perkembangan baru, Arrmanatha menilai belum waktunya untuk menutup kantor Kedutaan Besar Indonesia di ibukota Damaskus. Apalagi masih terdapat beberapa warga negara Indonesia di negara itu.
Pengamat Hubungan Internasional dari President University Teuku Rezasyah menilai serangan udara Amerika terhadap pangkalan militer Suriah di Homs tersebut akan makin mempersulit penyelesaian konflik Suriah, termasuk upaya menumpas kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di negara Syam itu, termasuk ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
Rezasyah menyarankan agar negara-negara besar, seperti Amerika dan Rusia serta negara di kawasan, berunding agar perang saudara di Suriah bisa segera diselesaikan. Menurut Rezasyah, konflik di Suriah berpotensi menciptakan Perang Dunia Ketiga.
"Kalau hal ini diterapkan terus menerus, reputasi Amerika akan turun. Dunia tidak akan respek lagi, negara kok menggunakan kekerasan terus menerus. Akibatnya tercipta koalisi negara antipati sama Amerika. Ini kan menguntungkan Cina, menguntungkan Rusia," kata Rezasyah.
Rezasyah mengatakan Indonesia bisa menggalang kekuatan bersama ASEAN, Gerakan Non-Blok, dan OKI (Organisasi Konferensi islam) untuk mendesak digelarnya sidang darurat PBB untuk segera menyelesaikan konflik Suriah agar tidak membesar dan menyebar luas. Rezasyah berkeyakinan suara Indonesia akan didengar karena Indonesia dipandang netral dan tidak berpihak dalam konflik Suriah.
Rusia, yang merupakan sekutu Suriah, menganggap serangan militer Amerika atas pangkalan udara di Homs merupakan agresi terhadap Suriah sebagai negara berdaulat. [fw/lt]
Your browser doesn’t support HTML5