Indonesia Perlu UU Anti Pidato Penyebar Kebencian

  • Fathiyah Wardah

Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI), kelompok yang dianggap sering melakukan 'hate speech', atau pidato penyebar kebencian. (Foto: AP)

Pengamat mengatakan undang-undang anti ungkapan kebencian (hate speech) diperlukan untuk mencegah terus berkembangnya radikalisasi.
Pengamat terorisme dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara Mardigu Wowiek Prasantyo, mengatakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera membuat undang-undang anti hate speech, atau pidato atau ceramah yang menyebarkan kebencian agar radikalisasi tidak terus berkembang.

Terus berkembangnya kelompok teroris di Indonesia, kata Mardigu, salah satunya dikarenakan selama ini tidak adanya tindakan tegas terhadap mereka yang menyebarkan kebencian ketika berceramah atau berpidato.

Mereka, lanjutnya, bebas menghina agama orang lain dan memprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Dia juga prihatin undang-undang seperti ini belum diterapkan di Indonesia padahal 130 negara di dunia telah menerapkannya.

Hate speech itu sekeras apapun agama atau radikal seseorang tidak bisa dijalankan. Dia juga tidak bisa menebar kebencian kan, selesai masalahnya. Teroris selalu menimbulkan kebencian jadi pada saat merekrut mereka akan bilang bangsa ini dipimpin oleh pemimpin yang thogut, ini benci Amerika kan begitu-begitu kan, kebencian itu yang mereka kobarkan bukan ideologi kebenaran Islamnya. Kena pasal itu mereka habis. Pidato yang menimbulkan kebencian bisa (membuat mereka) ditangkap,” ujarnya, Rabu (28/8).

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai juga setuju bahwa orang yang menyebar kebencian harus ditindak. Menurutnya, selama paham radikal belum bisa diatasi, aksi teror akan terus ada.

Terkait dengan deradikalisasi teroris yang telah ditahan, BNPT sedang membangun pusat deradikalisasi di Sentul, Jawa Barat, ujar Ansyaad.

Rencananya pusat tersebut akan mulai beroperasi pada 2014, tambahnya. Ansyaad mengatakan pembinaan terpusat seperti ini memang harus dilakukan karena selama ini proses deradikalisasi yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan tidak berjalan baik.

Pembinaan ini, tambah Ansyaad akan melibatkan BNPT, psikolog, ulama dan kepolisian.

“Di Lembaga Pemasyarakatan itu kan masih bisa berkembang radikalisasi karena LP kita kapasitasnya sangat terbatas. Kita lihat juga kapasitasnya berlebih sehingga sulit sekali mereka bisa mengatur kegiatan-kegiatan deradikalisasi itu,” ujarnya.

Sementara itu cendekiawan muslim yang juga mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, meminta agar organisasi kemasyarakatan islam seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah untuk meningkatkan peranannya dalam mengatasi masalah terorisme.

“Polisi bersama-sama dengan ormas-ormas Islam yang besar itu bisa bekerjasama membuat komunikasi politik. Ormas-ormas Islam ini meskipun mereka anti terorisme tetapi tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin khususnya dalam konteks deradikalisasi,” ujarnya.