Pemerintah Indonesia menyambut baik pengesahan dua resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Tuntutan Gencatan Senjata di Gaza dan Dukungan atas Mandat UNRWA yang diputuskan dalam sidang Rabu (11/12) sore. Indonesia adalah salah satu negara yang bersuara paling lantang saat menuntut gencatan senjata segera di Gaza dalam sidang darurat PBB pada 10-11 Desember.
“Gencatan senjata permanen sangat dibutuhkan di Gaza, dan keberlanjutan operasi UNRWA akan membantu mengurangi penderitaan warga Palestina," kata Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam pernyataan yang diunggah di X.
Pemerintah Indonesia juga “mendorong komunitas internasional untuk terus mendesak Israel agar segera mengimplementasikan kedua resolusi itu guna memastikan gencatan senjata permanen, berlanjutnya bantuan kemanusiaan, dan membuka jalan bagi terwujudnya solusi dua negara.”
Resolusi pertama “Tuntutan Gencatan Senjata di Gaza” diadopsi oleh 158 negara, sementara sembilan negara menolak, dan 13 lainnya abstain.
Sementara resolusi kedua “Dukungan atas Mandat UNRWA” diadopsi oleh 159 negara, sementara sembilan negara menentang dan 11 lainnya abstain.
Sembilan negara yang sama-sama menolak resolusi pertama dan kedua adalah Argentina, Czechia (atau Chech), Hongaria, Israel, Nauru, Papua Nugini, Paraguay, Tonga dan Amerika.
Sidang darurat ini tidak saja menuntut dibukanya segera akses warga sipil di Jalur Gaza pada bantuan kemanusiaan dasar, tetapi juga menolak tindakan apapun yang merongrong mandat badan bantuan pengungsi Palestina atau United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA) di wilayah itu.
BACA JUGA: Sekjen PBB: Situasi Gaza 'Mengerikan dan di Ambang Kehancuran'UNRWA, yang dibentuk PBB pada 1949, adalah badan PBB yang menyediakan bantuan pendidikan, layanan kesehatan, layanan sosial dan kemanusiaan, perlindungan, infrasturktur kamp, mikro-finansial, dan bantuan darurat untuk hampir enam juta pengungsi Palestina yang melarikan diri dari konflik ke lima wilayah, yaitu: Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – dan Jalur Gaza.
Standar Ganda di Gaza
Sebelumnya saat berbicara di sidang darurat Majelis Umum PBB pada 4 Desember, Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir, mempertanyakan standar ganda yang digunakan negara-negara besar saat melihat konflik di Gaza.
“Jika tindakan yang setara dengan pemusnahan seluruh populasi suatu negara bukan genosida, lalu apa? Tolong jelaskan kepada saya,” tanya Arrmanatha.
“Jika sebuah kelompok yang membunuh 1.200 orang dicap sebagai organisasi teroris, bagaimana dengan pemerintah yang telah membunuh 44.532 orang dan terus bertambah.”
Arrmanatha menegaskan standar ganda telah memberi Israel “izin untuk membunuh”.
“Banyak yang mengatakan bahwa kita sekarang memasuki era runtuhnya supremasi hukum internasional,” ujarnya.
Dia juga menyerukan kepada mayoritas negara yang masih memiliki hati nuran untuk bangkit dan melindungi mereka yang tidak berdosa.
Hak Veto Gagalkan Delapan Resolusi
Sebelumnya delapan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan kekerasan di Gaza menemui jalan buntu karena diveto salah satu dari lima negara adidaya dunia. Sementara empat resolusi yang berhasil disahkan, tidak satu pun yang dijalankan secara efektif.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan di luar resolusi-resolusi yang diajukan itu, tidak satu pun dari berbagai produk hukum yang dikeluarkan Mahkamah Internasional dan Mahkamah Pidana Internasional – yang menuntut akuntabilitas dan penghentian kejahatan kemanusiaan – dipatuhi.
Dua Resolusi yang Disepakati Beri Pesan Jelas
Presiden Majelis Umum PBB Philemon Yang mengatakan “Dua resolusi yang disepakati Rabu sore mencerminkan seruan mendesak komunitas internasional dalam menanggapi perang di Gaza.”
Dia juga mengkritik Dewan Keamanan karena ketidakmampuannya untuk bertindak.
“Sekali lagi, Dewan Keamanan lumpuh, tidak mampu memenuhi tanggung jawab utamanya untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional,” ujar Yang.
BACA JUGA: UNRWA: 'Tidak Ada Rencana Alternatif' untuk Bantu Pengungsi PalestinaPengamat Permanen Negara Palestina Riyad Mansour, yang hadir dalam sidang darurat itu, kembali mengkritisi Israel.
“Israel telah melanggar setiap perintah sementara Mahkamah Internasional yang ditujukan untuk mengatasi risiko genosida. Sebaliknya, Israel tetap bertahan dan menggandakan kejahatan kekejaman, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan setiap detik," katanya.
Ia meminta semua negara “untuk menggunakan setiap dan semua pengaruh yang dimiliki untuk mengakhiri pembantaian tersebut.” Mansour mengakhiri pernyataannya dengan mengatakan “kami memohon kepada semua negara yang berkumpul di sini untuk memadamkan api yang melahap anak-anak kami. Apakah itu terlalu berlebihan untuk diminta?”
Israel Kritik Adopsi Dua Resolusi
Sementara itu Perwakilan Tetap Israel Danny Danon mengkritik dua resolusi tersebut, dan menggambarkan fokus Majelis Umum sebagai hal yang “tidak proporsional dan tidak seimbang.”
“Tujuh puluh tujuh tahun yang lalu, Majelis ini memberikan suara pada Rencana Pemisahan PBB, sebuah momen yang menawarkan kesempatan bagi warga Israel dan Palestina untuk hidup berdampingan secara damai. Israel mengatakan ya, dunia Arab mengatakan tidak, mereka menolak hidup berdampingan, dan memilih untuk menyatakan perang terhadap negara Yahudi yang baru lahir. Sejak hari itu, majelis ini telah mempertahankan obsesi neurotik terhadap apa yang Anda sebut sebagai masalah Palestina,” kata Danon.
Ditambahkannya, “tujuh puluh tujuh tahun sudah cukup lama. Sudah saatnya PBB dan para anggotanya bangun, berhenti menjadi kolaborator dalam kekerasan, dan mulai menjadi mitra dalam perdamaian,” tambahnya.
Hampir 45.000 Warga Palestina di Gaza Tewas
Perang Israel-Hamas yang sudah berlangsung selama lebih dari 14 bulan berawal dari serangan kelompok militan Hamas ke bagian selatan Israel yang menewaskan 1.200 orang. Hamas juga menculik sekitar 250 orang lainnya, yang sebagian besar telah dibebaskan dalam perjanjian gencatan senjata pertama pada November 2023. Diyakini masih ada sekitar 100an sandera yang hingga kini ditahan di Gaza.
Serangan balasan Israel lewat darat dan udara ke Gaza hingga 11 Desember telah menewaskan lebih dari 44.805 orang, dan melukai 106.257 orang lainnya. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
Kantor berita Reuters melaporkan jumlah korban itu belum termasuk mereka yang tewas dan luka-luka dalam serangan terbaru Israel terhadap kelompok penjaga keamanan yang mengawal pengiriman bantuan kemanusiaan pada hari Kamis (12/12), yang menewaskan sedikitnya 12 orang dan melukai 30an lainnya. [em/jm]