Indonesia Segera Ratifikasi Protokol Keanekaragaman Hayati

  • Nurhadi Sucahyo

Menteri Negara Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya. (VOA/Nurhadi Sucahyo)

Indonesia akan segera meratifikasi Protokol Nagoya yang merupakan instrumen pelestarian keanekaragaman hayati tingkat global.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan Dewan Perwakilan Rakyat sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Ratifikasi Protokol Nagoya, yaitu instrumen pelestarian keanekaragaman hayati di tingkat global.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya mengatakan bahwa setidaknya akhir tahun ini atau awal tahun depan, DPR diharapkan sudah menyetujui RUU tersebut, yang akan menjadi dasar bagi Indonesia untuk menerima segala kesepakatan yang ditandatangani di Jepang, pada 29 Oktober 2010 tersebut.

"Ratifikasi Protokol Nagoya itu sangat penting bagi kita karena ini mengandung dua hal penting, yaitu akses untuk mencapai keragaman hayati dan pembagian manfaat keragaman hayati untuk pemilik-pemilik hak ulayat dan masyarakat adat di sekitarnya,” ujar Balthasar baru-baru ini di Yogyakarta, dalam sebuah acara peringatan hari puspa dan satwa.

Hal-hal yang diatur dalam Protokol Nagoya ini intinya adalah akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik, pembagian keuntungan yang adil dan seimbang terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik, serta pencegahan pencurian sumber daya genetik (biopiracy).

Secara sederhana protokol ini mengatur bahwa negara yang melakukan pelestarian sumber daya genetiknya akan memperoleh kompensasi dari negara-negara yang memanfaatkan sumber daya itu.

Deddy Ratih dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta pemerintah Indonesia tidak menjadikan semangat menerima kompensasi itu sebagai alasan utama persetujuan atas Protokol Nagoya. Nilai penting dari pelestarian sumber daya ini harus tetap menjadi landasan utama atas semua kebijakan pelestarian sumber daya genetik.

"Semangatlah kita lihat jadi separuh-separuh. Separuh memang berbicara tentang perlindungan keanekaragaman hayati, tetapi sebagian lagi berbicara tentang bahwa ini ada reward. Kalau kita lihat dari statement yang disampaikan, maka reward ini lebih sering disampaikan dibandingkan pestarian keanekaragaman hayati-nya. Menurut saya ini yang kemudian perlu di-clear-kan bahwa memang tujuan utamanya adalah pelestarian keanekaragaman hayati,” ujarnya.

Deddy juga berharap negara-negara industri maju memiliki komitmen sama dengan negara-negara berkembang yang memiliki kekayaan sumber daya genetik luar biasa, seperti Indonesia dan Brasil.

"Di satu sisi, misalnya kita lihat posisi negara-negara utara (maju) ini, mereka memang berbicara tentang isu tersebut, tetapi tindakan menjadi tidak bersesuaian. Ini agak diragukan juga untuk Protokol Nagoya ini. Jika ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia, apakah kemudian negara-negara industri besar itu akan memberikan dukungan, karena kepentingan mereka terhadap raw material juga cukup tinggi,” kata Deddy.

Indonesia adalah salah satu pemilik sumber daya genetik utama di dunia. Data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, di sini ada 707 spesies mamalia, 1.602 spesies burung, 1.112 spesies amfibi dan reptil, 2.800 spesies invertebrata, 1.400 spesies ikan, 35 spesies primata, 120 spesies kupu-kupu. Di samping itu, data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, Indonesia memiliki 450 spesies terumbu karang dari 700 spesies yang ada di dunia.