Akibat jatuhnya harga dan naiknya biaya produksi, hanya lima dari 36 tambang batu bara di Jambi yang masih beroperasi.
JAKARTA —
Hampir 90 persen tambang batu bara di Jambi telah ditutup akibat turunnya harga produk dan naiknya biaya operasi, menurut sebuah asosiasi batu bara pada Kamis (29/11).
Indonesia merupakan eksporter terbesar dunia untuk batu bara termal, yang sebagian besar digunakan untuk pembangkit listrik di Tiongkok dan India. Namun penambang skala kecil berjuang menghadapi penurunan harga, yang jatuh 30 persen sejak Januari.
Hanya lima dari 36 tambang batu bara di provinsi di Sumatera itu yang masih beroperasi.
Pada 2011, Jambi mengekspor sekitar 4,2 juta ton batu bara dengan nilai kalori rendah. Tahun ini, jumlah ekspor barangkali hanya akan mencapai 700.000 ton, ujar Daniel Chandra dari Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI).
“Jika harga pulih, kita dapat menjual kembali. Situasi sangat sulit di Jambi sekarang,” ujar Daniel pada kantor berita Reuters.
Biaya operasi bagi sebagian besar produsen batu bara di Indonesia, yang nilainya terendah di dunia, telah naik drastis tahun ini di saat harga batu bara termal jatuh karena menurunnya permintaan dari konsumen utama, yaitu Tiongkok.
APBI memperkirakan hasil produksi batu bara di Indonesia akan turun 30 persen menjadi 340 juta tahun ini akibat kondisi pasar yang berat.
Banyak perusahaan yang telah menghabiskan persediaannya karena harga jatuh di bawah biaya produksi. Tambang milik Daniel sendiri telah tutup.
"Saya berhentikan karena kami tidak dapat menutup biaya produksi dan biaya angkut. Saya sudah memindahkan semua truk ke Jakarta,” ujarnya, menambahkan bahwa truk-truk tersebut akan disewakan untuk proyek jalan tol.
Direktur eksekutif APBI Supriatna Suhala mengatakan persediaan batu bara yang berlebih di pasaran membuat harga tidak dapat naik secara signifikan seperti biasanya pada saat musim dingin di belahan bumi utara.
Indeks harga Newcastle untuk batu bara termal di Asia jatuh menjadi US$81 per ton pada Oktober akhir, atau paling rendah dalam setahun, dan telah bangkit menjadi hampir $90 per ton walaupun permintaan dari Tiongkok tetap rendah.
“Belum ada tanda-tanda kepulihan. Ada banyak pembatalan,” ujar Suhala, mengacu pada pengiriman batu bara ke Tiongkok pada satu sampai dua bulan terakhir. (Reuters/Fergus Jensen)
Indonesia merupakan eksporter terbesar dunia untuk batu bara termal, yang sebagian besar digunakan untuk pembangkit listrik di Tiongkok dan India. Namun penambang skala kecil berjuang menghadapi penurunan harga, yang jatuh 30 persen sejak Januari.
Hanya lima dari 36 tambang batu bara di provinsi di Sumatera itu yang masih beroperasi.
Pada 2011, Jambi mengekspor sekitar 4,2 juta ton batu bara dengan nilai kalori rendah. Tahun ini, jumlah ekspor barangkali hanya akan mencapai 700.000 ton, ujar Daniel Chandra dari Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI).
“Jika harga pulih, kita dapat menjual kembali. Situasi sangat sulit di Jambi sekarang,” ujar Daniel pada kantor berita Reuters.
Biaya operasi bagi sebagian besar produsen batu bara di Indonesia, yang nilainya terendah di dunia, telah naik drastis tahun ini di saat harga batu bara termal jatuh karena menurunnya permintaan dari konsumen utama, yaitu Tiongkok.
APBI memperkirakan hasil produksi batu bara di Indonesia akan turun 30 persen menjadi 340 juta tahun ini akibat kondisi pasar yang berat.
Banyak perusahaan yang telah menghabiskan persediaannya karena harga jatuh di bawah biaya produksi. Tambang milik Daniel sendiri telah tutup.
"Saya berhentikan karena kami tidak dapat menutup biaya produksi dan biaya angkut. Saya sudah memindahkan semua truk ke Jakarta,” ujarnya, menambahkan bahwa truk-truk tersebut akan disewakan untuk proyek jalan tol.
Direktur eksekutif APBI Supriatna Suhala mengatakan persediaan batu bara yang berlebih di pasaran membuat harga tidak dapat naik secara signifikan seperti biasanya pada saat musim dingin di belahan bumi utara.
Indeks harga Newcastle untuk batu bara termal di Asia jatuh menjadi US$81 per ton pada Oktober akhir, atau paling rendah dalam setahun, dan telah bangkit menjadi hampir $90 per ton walaupun permintaan dari Tiongkok tetap rendah.
“Belum ada tanda-tanda kepulihan. Ada banyak pembatalan,” ujar Suhala, mengacu pada pengiriman batu bara ke Tiongkok pada satu sampai dua bulan terakhir. (Reuters/Fergus Jensen)