Selama enam belas bulan terakhir, sektor pariwisata mati suri. Aneka pembatasan mobilitas menambah berat beban pelaku industri ini. Yogyakarta, yang menjadi salah satu tujuan wisata populer di Indonesia, kehilangan Rp10 triliun sepanjang pandemi.
Angka Rp10 triliun tersebut adalah perhitungan omset bisnis anggota Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Daerah Istimewa Yogyakarta saja. Jika sektor terkait diikutkan, menurut Ketua GIPI DIY, Bobby Ardyanto Setya Aji, kerugiannya bisa melonjak hingga Rp25 triliun.
“Kalau kita bicara dalam sebuah ekosistem pariwisata, data kerugian bisa sampai kurang lebih Rp25 triliun karena dalam sebuah ekosistem pariwisata, bisnis turunannya banyak sekali. Termasuk misalnya sampai ke temen-temen UMKM, seperti yang ada di Malioboro,” ujar Bobby, dalam perbincangan dengan media di Yogyakarta, Selasa (3/8).
Sementara dari sisi sumber daya manusia, ada sekitar 30 ribu orang yang kehilangan pekerjaan, di luar sektor hotel dan restoran. Selain kerugian akibat bisnis macet, kondisi ini juga diperparah oleh kewajiban pelaku usaha yang tetap harus dipenuhi selama pandemi. Mereka masih harus tetap menggaji karyawan, membayar listrik dan BPJS, serta tentu saja merawat asetnya.
Di sektor hotel dan restoran, dampaknya juga tak kalah berat. Tingkat hunian hotel saat ini rata-rata di bawah 10 persen, bahkan banyak yang mencatatkan hunial nol persen dan sebagian lain harus tutup. Mohammad, dari PHRI DIY, menyebut hotel bintang tiga setiap bulan memiliki beban kerugian dan kewajiban pembayaran sekitar Rp400 juta untuk membayar listrik, angsuran bank dan beban lain. Sementara hotel bintang empat mengalami kerugian sekitar Rp800 juta per bulan. Sebagian hotel masih bisa beroperasi, karena dukungan keuangan dari pemiliknya.
“Harapan kami pemerintah membantu staf yang unpaid leave (cuti tak berbayar -red), yang di-PHK, karena mereka BPJS-nya, asuransinya kan harus tetap ada, dan segala macam. Sehingga butuh ada relaksasi dari pemerintah untuk persoalan asuransi, persoalan listriknya, dan segala macam itu,” ujar Mohammad.
Sektor Pendukung Terdampak
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DIY, V Hantorom menyebut ada 65 perusahaan angkutan pariwisata di Yogyakarta dengan total 817 unit kendaraan. Pada 2019, penyedia layanan transportasi wisata ini mencatatkan omzet Rp468 miliar.
“Kalau kita rata-rata kenaikan pertahun sekitar 10 persen. Total kerugian yang ada di sektor transportasi pariwisata di Yogyakarta, berkisar Rp550 miliar dalam setahun, dari bulan Maret 2020 sampai dengan bulan Februari 2021,” kata pria yang biasa dipanggil Hans ini.
BACA JUGA: Prediksi Optimis, Sektor Pariwisata Bangkit Paling Cepat Akhir TahunKrisis ini berdampak pada sekitar 600 pekerja kantor sektor transportasi wisata, seperti bagian admistrasi, mekanik hingga penjaga keamanan. Sedangkan sopir dan kru angkutan wisata yang kehilangan pekerjaan, sekurangnya 2.600 orang.
Sedangkan asosiasi agen perjalanan wisata, Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies (ASITA) Yogyakarta mengatakan kerugian mereka setahun terakhir mencapai sekitar Rp75 miliar. M Fachri, perwakilan asosiasi ini mengatakan, setidaknya 1.200 pekerja industri ini harus dirumahkan tanpa gaji. Dari 161 perusahaan anggota ASITA di Yogyakarta, tujuh diantaranya telah menutup usahanya. Mayoritas yang masih bertahan juga tidak memiliki pendapatan bisnis, karena tidak ada turis mancanegara yang datang.
“Hampir 60 persen menerima tamu dari luar negeri. Kerugian kami cukup banyak, karena pasar domestik juga belum bergerak, sedangkan dari luar negeri juga perbatasan ditutup sehingga tidak bisa masuk. Juga tidak bisa keluar, misalnya untuk menjual paket paket umroh oleh temen-temen ASITA,” kata Mohammad.
Jurus Bertahan
Tentu saja, pelaku industri pariwisata sepanjang pandemi ini telah mengupayakan langkah-langkah untuk tetap menjalankan bisnis. Sektor jasa pengelola acara misalnya, sejak awal aturan diterapkan untuk sejumlah acara yang melibatkan banyak pengunjung, sudah menerapkan terobosan. Salah satunya adalah pernikahan virtual.
Ridho Mardaris Shinto dari Indonesian Event Industry Council (IVENDO) DIY menyebut, sejumlah perubahan aturan terkait pernikahan mereka alami sepanjang upaya adaptasi ini. Selain itu, acara-acara diskusi yang beralih ke daring juga dimanfaatkan, dengan menyediakan jasa pengelolaannya.
“Tantangannya, klien kami kebanyakan instansi pemerintah. Semakin kesini, mereka belajar untuk mengadakan sendiri,” ujar Ridho.
Industri Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE), ujar Ridho, turun drastis. Prospek bisnis yang sudah diharapkan sejak awal 2020 hilang, karena keputusan mayoritas klien dari kota-kota besar, bahkan luar negeri, yang membatalkan acara mereka di Yogyakarta. Sepanjang satu setengah tahun ini, kata Ridho, mereka kehilangan pasar sekitar Rp 150 miliar.
Industri yang tergabung Perkumpulan Penyelenggara Jasaboga Indonesia (PPJI) juga menerapkan sejumlah upaya untuk bertahan. Salah satunya adalah perubahan layanan, mengikuti model acara pernikahan yang tidak memperbolehkan terjadinya kerumunan. Acara resepsi yang sebelumnya dilakukan dengan makan di lokasi, kini berubah menjadi paket konsumsi dalam kemasan. Namun, karena berbagai batasan, jumlah tamu yang diundang menjadi sangat sedikit.
Your browser doesn’t support HTML5
“Sekarang ini apapun pesanan itu kami sebagai pengusaha hanya memikirkan supaya karyawan bisa dapat pendapatan. Kita sendiri, sudah pasti kalau di bawah 100 paket untuk ditangani secara profesional, sudah pasti rugi,” kata Moris Tumpal Situmorang dan PPJI DIY.
Sebelum pandemi, banyak acara pernikahan mengundang hingga lima ribu tamu. Saat ini, mayoritas berada di angka ratusan, bahkan selama PPKM Darurat hanya dibatasi keluarga sendiri. Pengusaha katering yang masih bertahan, adalah mereka yang memiliki kontrak penyediaan makan bagi instansi tertentu.
Dua Langkah Penting
Pengamat pariwisata dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Ike Janita Dewi PhD, menyebut dua langkah penting dilakukan untuk menjaga sektor pariwisata di Yogyakarta.
“Pemulihan didasarkan atas dua hal. Pertama DIY harus menjadi zona hijau, COVID-19 bisa terkendali. Yang kedua kita melakukan upaya sistematis untuk melakukan reaktivasi pariwisata DIY,” ujar Ike.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY setahun adalah Rp141 triliun. Dari jumlah itu, kata Ike, sepuluh persennya atau Rp14 triliun disumbangkan oleh sektor pariwisata secara langsung, yaitu akomodasi dan makanan. Jika dua sektor bisnis ini mengalami kemerosotan antara 70 persen hingga 80 persen, maka kontribusi langsung yang hilang sekitar Rp12 triliun.
“Dampak ikutannya bisa sampai 25 persen dari PDRB, atau sekitar Rp25 triliun sampai Rp30 triliun. Jadi memang kita harus menyadari, bahwa perekonomian DIY tergantung pada perputaran industri pariwisata,” tambahnya.
Karena itu, membantu sektor ini untuk bertahan di tengah situasi sulit ini menjadi sangat penting. Pemerintah sebaiknya tidak bekerja seolah seperti dalam kondisi normal. Satu hal yang sangat ditakutkan, kata Ike, adalah apabila sektor pariwisata DIY kolaps, maka akan sulit sekali untuk dibangkitkan ketika pandemi telah berlalu nanti. [ns/ab]