Indonesia melalui Kementerian Pertahanan merencanakan alokasi anggaran sebesar 124,99 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,7 kuadriliun untuk pembelian alat pertahanan. Belanja sebesar itu, ternyata tidak bermakna banyak bagi industri pertahanan dalam negeri. Kritik semakin tajam, karena dana tersebut datang sebagai utang.
Angka Rp 1,7 kuadriliun atau Rp 1.700 triliun itu muncul dalam rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam), Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2040. Namun, angka yang luar biasa besar itu dinilai Al A'raf, Ketua Centra Initiative dan anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan tidak menunjukkan komitmen pemerintah dalam membangun industri pertahanan dalam negeri.
“Sebagian besar problem industri pertahanan adalah political will goverment-nya itu kurang. Saya anggap minim komitmennya. Kurangnya dukungan kebijakan pemerintah. Keberpihakan sebenarnya pada siapa? Karena realitasnya, belanja pertahanan masih banyak beli dari luar, transfer of technology yang terbatas, industri pertahanan tertaih-tatih,” kata Al Araf pada diskusi yang digelar lembaga ekonomi INDEF, Rabu (9/6).
Pekan lalu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Komisi I DPR menggelar Rapat Dengar Perdapat (RDP) secara tertutup mengenai hal ini. Sejak awal, rapat di DPR terkait anggaran pertahanan dibuat tertutup, dengan alasan kerahasiaan negara.
BACA JUGA: Peneliti LIPI: Pembentukan Komcad Perkuat MiliterisasiKurang Komitmen Negara
Indonesia, kata Al Araf, memiliki tiga pilihan kebijakan terkait sektor pertahanan, yaitu pembelian dari luar negeri untuk modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista), membangun aliansi pertahanan atau memberdayakan industri pertahanan dalam negeri.
Pilihan pertama memungkinkan peningkatan kapabilitas militer secara instan.
“Mungkin kita maju, tetapi ketergantungan pengadaan senjata dengan negara lain tinggi, sehingga ini rawan terhadap tekanan politik internasional, embargo dan sebagainya,” lanjut Al Araf.
Pilihan kedua tidak memungkinkan untuk diambil, karena Indonesia menganut sistem bebas aktif, yang menghindarkannya dari aliansi pertahanan tertentu. Pilihan ketiga, adalah pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri yang sebenarnya memang menjadi visi Presiden Jokowi sejak awal. Presiden ingin sektor pertahanan tidak tergantung pihak asing, memiliki penguasaan teknologi senjata, hingga turut mendorong roda perekonomian.
“Persoalannya adalah, pembangunan industri pertahanan itu hanya menjadi omongan yang enak di mulut, indah terdengar. Kemandirian pertahanan seolah menjadi suatu yang menarik, tetapi tidak minim realisasi. Karena tidak ada komitmen dari negara dan pemerintah, yang ingin membangun industri pertahanan secara serius,” tambahnya.
Pertahanan adalah salah satu yang aturannya diubah melalui Omnibus Law atau UU Cipta Kerja. Undang-undang baru ini menggeser Kementerian Pertahanan ke arah liberalisasi pertahanan melalui liberalisasi persenjataan. UU ini mendorong pihak swasta berada di di depan dan meningkatkan anggaran pertahanan.
“Munculnya PT TMI, sebagai PT yang didesain oleh grup politik Menteri Pertahanan untuk memonopoli sektor pertahanan,” lanjut Al Araf.
Langkah Menhan Dikritik
PT TMI yang disebut Al Araf adalah PT Teknologi Militer Indonesia. Mengenai perusahaan tersebut, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo mengatakan bisa dilihat dalam Surat Menteri Pertahanan nomo B/2099/M/XI/2020 tertanggal 16 November 2020.
“Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, di dalam surat itu menjelaskan telah membuat beberapa perusahaan yang dikendalikan langsung oleh dirinya melalui yayasan, dan di dalamnya termasuk PT Teknologi Militer Indonesia atau TMI,” kata Adnan dalam diskusi ini.
Setelah ditelusuri melalui akta perusahaan, diketahui bahwa PT TMI merupakan perusahaan swasta.
“Ini menjadi pertanyaan. Ada seorang pejabat pemerintah, pejabat negara dengan posisinya sebagai menteri, mendirikan perusahaan. Yang nanti perusahaan itu, sesuai dengan surat yang juga sama, ditetapkan oleh Prabwo sebagai pihak yang akan mengurus berbagai hal, termasuk pengadaan alutsista. Ini mengerikan,” lanjut Adnan.
Prabowo menunjuk Mayjend Purn Glenny Kairupan sebagai Direktur Utama PT TMI, dan Harsusanto sebagai dan CEO. Glenny adalah petinggi Partai Gerindra, sedangkan Harsusanto pernah berkiprah di PT PAL, perusahaan negara di sektor kapal.
Adnan mengurai banyak sisi yang seharusnya menjadi perhatian publik, terkait posisi PT TMI, alokasi anggaran yang begitu besar dan sumber dana yang merupakan pinjaman.
“Bayangkan. Seribu triliun lebih itu harus dibelanjakan dalam 2,5 tahun. Mungkin enggak? Masuk akal enggak? Dan apa saja persenjataan yang akan dibeli dari dana itu? Kepada negara produsen mana saja kita akan membeli peralatan itu? Bagaimana dengan mekanisme pengadaannya? Apakah ada seleksi? Karena sudah ditunjuk PT TMI dari awal,” tandas Adnan.
Your browser doesn’t support HTML5
Pinjaman Harus Dibayar
Strategi pengadaan Alutsista melalui utang ini juga dikritisi Direktur Riset INDEF, Berly Martawardaya.
“Biasanya, yang dilakukan banyak negara adalah menaikkan dulu penerimaan, baru menaikan belanja. Ini strategi yang berbeda. Boleh utang, tetapi karena harus dibayar, harus lebih kuat perencanaannya,” kata Berly.
Dari sisi rasio, anggaran pertahanan Indonesia memang relatif rendah terhadap Product Domestic Bruto (PDB), dan ini sudah berlangsung setidaknya sejak tahun 2000.
Berly mengutip beberapa data global, yang menempatkan Indonesia dalam urutan bawah terkait pertahanan. Misalnya, dalam Global Fire Index, Indonesia ada di peringkat 16 global dan posisi 8 di Asia Pasifik. Dalam Heavy Weapon Index, Indonesia juga masuk kategori rendah, sementara Malaysia, Thailand dan Filipina ada di kategori medium. Menurut Lowie Institute Asia Power Index, Indonesia ada di nomor 13, di bawah Singapura (8) dan Vietnam (12).
Meski begitu, tidak bisa melihat posisi sektor pertahanan dalam rasionya terhadap PDB saja. Menurut Berly, kapasitas fiskal juga harus memperoleh perhatian.
“Tahapan yang umum itu adalah menaikkan dulu penerimaannya, baru lebih banyak dialokasikan untuk sektor-sektor yang prioritas ataupun tertinggal. Ini seperti coba diubah, mau pinjam dulu, ditingkatkan, baru kemudian dibayar ketika PDB Indonesia meningkat. Ini strategi pengelolaan keuangan yang sah-sah saja, tetapi dengan lebih tingginya resiko dan rencanya lewat utang, tentu saja perlu dijelaskan,” tambah Berly.
Pemerintah-DPR Telah Bertemu
Seusai rapat dengan Komisi I DPR, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan bahwa dirinya telah menjelaskan konsep rencana induk pertahanan ke depan.
“Rencana ini masih kita godog bersama Bappenas, Kementerian Keuangan, dan pemangku kepentingan lainnya. Sebagaimana diketahui, banyak Alutsista kita sudah tua, sudah saatnya memang mendesak harus diganti. Kebutuhan-kebutuhan sangat penting, dan kita siap untuk menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berkembang dengan sangat pesat,” kata Prabowo, 3 Juni 2021.
Sementara Anggota DRP Komisi I Effendi Simbolon mengatakan, tidak ada anggaran yang terlalu besar terkait pertahanan.
“Karena itu kan kebutuhan sampai 25 tahun ke depan. Enggak ada yang kegedean. Semuanya masuk di dalam rencana kebutuhan TNI. Tetapi kita urai, ini dari mana, sumber pendanaannya dari mana bagaimana model term and condition pinjamannya, dan sebagainya,” kata Effendi. [ns/ab]