Sepekan setelah penutupan terkait ambruknya sebuah pabrik garmen yang menewaskan 420 orang lebih, industri tekstil Bangladesh telah buka kembali, Kamis (2/5).
Industri tekstil Bangladesh telah buka kembali sepekan setelah penutupan terkait ambruknya sebuah pabrik garmen berlantai delapan yang menewaskan lebih dari 420 orang.
Puluhan ribu pekerja kembali bekerja di pabrik-pabrik tekstil di ibukota Bangladesh, seminggu setelah ambruknya sebuah kompleks pabrik yang menewaskan lebih dari 420 orang.
Delapan hari setelah meninggalkan pekerjaannya, para pekerja garmen Bangladesh – yang menjadi tulang punggung industri tekstil bernilai 20 milyar dollar di negara itu – hari Kamis kembali bekerja.
Hari Kamis para petugas pertolongan menggunakan alat-alat berat untuk membersihkan lokasi bencana. Semalam mereka menemukan sejumlah mayat sehingga angka korban resmi menjadi 430. Diperkirakan jumlah korban jiwa akan meningkat karena sekitar 150 orang belum ditemukan.
Sewaktu warga Bangladesh memakamkan korban yang tewas, Wakil Presiden Asosiasi Pepabrikan dan Eksportir Garmen Bangladesh Shahidullah Azim memberitahu VOA, lembagaya kini bekerjasama dengan otorita bangunan dan mengambil seluruh langkah yang diperlukan guna mencegah tragedi serupa di masa depan.
Shahidullah mengatakan, “Kami memiliki tim bersama yang akan memeriksa pabrik-pabrik yang diduga temboknya retak-retak atau apapun. Jika kami menerima informasi apapun tentang dugaan masalah infrastruktur tersebut, kami akan segera bergerak dan membuat laporan”.
Para pekerja garmen dan aktivis mengatakan mereka telah mendengar janji-janji seperti ini sebelumnya. Baru enam bulan lalu, lebih dari 100 orang tewas dalam kebakaran sebuah pabrik tekstil di Dhaka, di mana banyak pekerja terpaksa melompat keluar dari jendela untuk menyelamatkan diri.
Alonzo Suson dari Pusat Solidaritas Pekerja Bangladesh mengatakan ia tidak yakin bahwa kondisi kerja akan berubah di negara di mana para pekerja garmen umumnya berpenghasilan kurang dari 50 dollar per bulan. Ia menambahkan seorang pekerja garmen berusia 16 tahun yang tangannya diamputasi setelah ambruknya bangunan tersebut mengatakan kepadanya, ia tidak ingin bekerja pada hari naas itu tetapi ia diberitahu bahwa ia akan kehilangan gaji selama seminggu penuh jika tidak memasuki kompleks pabrik tersebut.
“Upah sudah sangat rendah, kini soal kesempatan hidup. Jadi memang para pekerja garmen tetap akan bekerja. Mereka tahu beberapa pabrik tempat mereka bekerja tidak aman, tetapi mereka juga perlu bertahan hidup, sehingga ini merupakan lingkaran setan,” ujar Alonzo.
Alonzo Suson mengatakan industri garmen Bangladesh membutuhkan transparansi yang lebih besar, lebih banyak pengawas dan aturan konstruksi nasional. Ia mengatakan hanya 25-30 pabrik yang memiliki serikat buruh, dan kebanyakan dibentuk dalam waktu kurang dari enam bulan ini.
Para aktivis mengatakan ini juga merupakan tanggungjawab para pengecer dan konsumen yang membeli pakaian-pakaian yang dibuat dengan kondisi kerja seperti ini.
Sementara itu pemilik kompleks bangunan yang ambruk itu masih berada di dalam tahanan polisi di Dhaka, dan para demonstran menuntutnya dihukum mati. (Aru Pande).
Puluhan ribu pekerja kembali bekerja di pabrik-pabrik tekstil di ibukota Bangladesh, seminggu setelah ambruknya sebuah kompleks pabrik yang menewaskan lebih dari 420 orang.
Delapan hari setelah meninggalkan pekerjaannya, para pekerja garmen Bangladesh – yang menjadi tulang punggung industri tekstil bernilai 20 milyar dollar di negara itu – hari Kamis kembali bekerja.
Hari Kamis para petugas pertolongan menggunakan alat-alat berat untuk membersihkan lokasi bencana. Semalam mereka menemukan sejumlah mayat sehingga angka korban resmi menjadi 430. Diperkirakan jumlah korban jiwa akan meningkat karena sekitar 150 orang belum ditemukan.
Sewaktu warga Bangladesh memakamkan korban yang tewas, Wakil Presiden Asosiasi Pepabrikan dan Eksportir Garmen Bangladesh Shahidullah Azim memberitahu VOA, lembagaya kini bekerjasama dengan otorita bangunan dan mengambil seluruh langkah yang diperlukan guna mencegah tragedi serupa di masa depan.
Shahidullah mengatakan, “Kami memiliki tim bersama yang akan memeriksa pabrik-pabrik yang diduga temboknya retak-retak atau apapun. Jika kami menerima informasi apapun tentang dugaan masalah infrastruktur tersebut, kami akan segera bergerak dan membuat laporan”.
Para pekerja garmen dan aktivis mengatakan mereka telah mendengar janji-janji seperti ini sebelumnya. Baru enam bulan lalu, lebih dari 100 orang tewas dalam kebakaran sebuah pabrik tekstil di Dhaka, di mana banyak pekerja terpaksa melompat keluar dari jendela untuk menyelamatkan diri.
Alonzo Suson dari Pusat Solidaritas Pekerja Bangladesh mengatakan ia tidak yakin bahwa kondisi kerja akan berubah di negara di mana para pekerja garmen umumnya berpenghasilan kurang dari 50 dollar per bulan. Ia menambahkan seorang pekerja garmen berusia 16 tahun yang tangannya diamputasi setelah ambruknya bangunan tersebut mengatakan kepadanya, ia tidak ingin bekerja pada hari naas itu tetapi ia diberitahu bahwa ia akan kehilangan gaji selama seminggu penuh jika tidak memasuki kompleks pabrik tersebut.
“Upah sudah sangat rendah, kini soal kesempatan hidup. Jadi memang para pekerja garmen tetap akan bekerja. Mereka tahu beberapa pabrik tempat mereka bekerja tidak aman, tetapi mereka juga perlu bertahan hidup, sehingga ini merupakan lingkaran setan,” ujar Alonzo.
Alonzo Suson mengatakan industri garmen Bangladesh membutuhkan transparansi yang lebih besar, lebih banyak pengawas dan aturan konstruksi nasional. Ia mengatakan hanya 25-30 pabrik yang memiliki serikat buruh, dan kebanyakan dibentuk dalam waktu kurang dari enam bulan ini.
Para aktivis mengatakan ini juga merupakan tanggungjawab para pengecer dan konsumen yang membeli pakaian-pakaian yang dibuat dengan kondisi kerja seperti ini.
Sementara itu pemilik kompleks bangunan yang ambruk itu masih berada di dalam tahanan polisi di Dhaka, dan para demonstran menuntutnya dihukum mati. (Aru Pande).