Menteri Dalam Negeri Inggris James Cleverly menandatangani perjanjian baru dengan Rwanda pada hari Selasa (5/12) dalam upaya mengatasi keputusan pengadilan yang menghalangi kebijakan kontroversial pemerintah untuk mengirim pencari suaka ke negara di Afrika Timur itu.
Rwanda Plan (Rencana Rwanda) merupakan inti dari strategi pemerintah untuk mengurangi migrasi dan diamati dengan seksama oleh negara-negara lain yang mempertimbangkan kebijakan serupa.
Mahkamah Agung Inggris bulan lalu memutuskan bahwa tindakan tersebut melanggar hukum hak asasi manusia internasional yang tercantum dalam undang-undang domestik.
Perjanjian baru ini akan mencakup kesepakatan bahwa Rwanda tidak akan mengusir pencari suaka ke negara di mana kehidupan atau kebebasan mereka akan terancam – salah satu kekhawatiran utama pengadilan.
Perjanjian ini juga akan membentuk komite pemantau yang memungkinkan individu-individu mengajukan pengaduan rahasia secara langsung kepada mereka dan badan banding baru yang terdiri dari hakim-hakim dari seluruh dunia.
BACA JUGA: MA Inggris: Rencana Kirim Migran ke Rwanda Langgar HukumCleverly mengatakan saat ini tidak ada alasan yang “kredibel” untuk memblokir penerbangan deportasi karena perjanjian tersebut telah membahas semua masalah yang diangkat oleh Mahkamah Agung dan tidak ada dana tambahan yang diberikan kepada Rwanda untuk meningkatkan perjanjian tersebut dari nota kesepahaman yang sudah ada.
“Saya sangat berharap kita sekarang dapat bergerak cepat,” kata Cleverly pada konferensi pers di ibu kota Rwanda, Kigali.
Banyak pengacara dan badan amal mengatakan penerbangan deportasi tidak mungkin dimulai sebelum pemilu tahun depan. Partai Buruh yang beroposisi, yang unggul dua digit dalam jajak pendapat, berencana membatalkan kebijakan Rwanda itu jika mereka menang.
Berdasarkan rencana yang disepakati tahun lalu, Inggris bermaksud mengirim ribuan pencari suaka yang tiba di pantainya tanpa izin ke Rwanda untuk mencegah migran melintasi Selat Eropa dengan perahu kecil.
Sebagai imbalannya, Rwanda telah menerima pembayaran awal sebesar 140 juta pound (sekitar 2,8 triliun rupiah) dengan janji lebih banyak uang untuk mendanai akomodasi dan perawatan setiap individu yang dideportasi. [lt/ka]