Iran pada Senin (8/1) mendukung seruan dari negara tetangganya, Irak, untuk mengusir koalisi anti-jihad pimpinan Amerika Serikat (AS) dari wilayahnya setelah serangan AS menewaskan seorang komandan pro-Iran di Bagdad.
“Mengenai Irak dan tindakan yang diambil pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini, pemerintah Irak telah dengan jelas mengumumkan posisinya,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanani pada konferensi pers.
Iran yakin bahwa negara tetangganya itu memiliki “kemampuan, kekuatan dan otoritas yang diperlukan untuk menjaga keamanan” di wilayahnya sendiri, kata Kanani.
“Kami telah berulang kali menyatakan pandangan kami kepada pihak berwenang di negara-negara kawasan, termasuk Irak, dan menyatakan bahwa kehadiran pasukan Amerika dalam bentuk apa pun… tidak akan membantu menjaga stabilitas dan perdamaian,” katanya.
BACA JUGA: Warga Irak Makamkan Pejuang yang Tewas dalam Serangan Balasan ASPentagon pada Senin mengatakan pihaknya saat ini tidak berencana untuk menarik sekitar 2.500 tentaranya dari Irak, meskipun Baghdad pekan lalu mengumumkan bahwa mereka akan memulai proses penarikan koalisi militer pimpinan AS dari negara tersebut.
“Saat ini, saya tidak mengetahui adanya rencana apa pun untuk merencanakan penarikan. Kami tetap fokus pada misi mengalahkan ISIS,” kata Mayor Jenderal Angkatan Udara Patrick Ryder dalam jumpa pers. Dia menambahkan bahwa pasukan AS berada di Irak atas undangan pemerintah Irak.
Ryder mengatakan dia juga tidak mengetahui adanya pemberitahuan apa pun dari Baghdad kepada Departemen Pertahanan AS mengenai keputusan untuk menarik pasukan AS dan merujuk wartawan ke Departemen Luar Negeri AS untuk melakukan diskusi diplomatik mengenai masalah tersebut.
Serangan pesawat tak berawak AS pada Kamis (4/1) menewaskan seorang komandan militer dan anggota Harakat al-Nujaba lainnya, sebuah faksi Hashed al-Shaabi – kumpulan mantan unit paramiliter pro-Iran yang sekarang diintegrasikan ke dalam angkatan bersenjata Irak.
Washington menyebut serangan di Bagdad itu sebagai tindakan membela diri. Namun, pemerintahan Perdana Menteri Mohamed Shia al-Sudani mengecamnya sebagai tindakan "agresi terang-terangan" oleh koalisi pimpinan AS.
Sudani pada Jumat (5/1) mengatakan bahwa dia bertekad untuk “mengakhiri” koalisi anti-jihad.
Pemerintahannya bergantung pada dukungan dari partai-partai yang berpihak pada Teheran, dan dalam beberapa pekan terakhir dia telah berulang kali mengatakan bahwa dia ingin melihat pasukan asing meninggalkan Irak.
Ketegangan regional meningkat, dan dampak perang Israel-Hamas semakin terasa di Irak dan Timur Tengah.
BACA JUGA: Tewasnya Jenderal Iran Dikhawatirkan Perluas Konflik di Timur TengahPasukan AS dan koalisi lainnya di Irak, yang dikerahkan sejak 2014 dalam perang melawan kelompok ISIS, sering mendapat serangan sejak pertempuran meletus pada 7 Oktober antara Israel dan kelompok Palestina Hamas yang didukung Iran.
Washington mengatakan telah terjadi lebih dari 100 serangan terhadap pasukannya di Irak dan negara tetangga Suriah sejak pertengahan Oktober.
Sebagian besar serangan tersebut diklaim oleh Perlawanan Islam di Irak, sebuah aliansi kelompok bersenjata yang terkait dengan Iran dan menentang dukungan AS untuk Israel dalam perang Gaza.
AS memiliki sekitar 2.500 tentara di Irak dan 900 di Suriah sebagai bagian dari koalisi multinasional yang dibentuk pada puncak perluasan wilayah ISIS. Mitra koalisi lainnya termasuk Prancis, Spanyol dan Inggris.
Pada akhir 2017 Irak mendeklarasikan kemenangan atas ISIS, tetapi sel-sel jihad yang tersisa di wilayah utara yang terpencil terus melancarkan serangan sporadis. [my/lt]