Iran Siap Gelar Pembicaraan Nuklir dengan 3 Negara Kuat Eropa

Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht-Ravanchi berbicara kepada media di luar ruangan Dewan Keamanan PBB di markas PBB di New York, 24 Juni 2019.

Diplomat Iran Majid Takht-Ravanchi, yang menjabat sebagai wakil politik Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, dijadwalkan mewakili Iran dalam pembicaraan pada Jumat.

Iran siap bertemu dengan Prancis, Jerman dan Inggris pada Jumat (29/11) untuk membicarakan program nuklirnya setelah ketiga negara tersebut bersama Amerika Serikat meminta badan pengawas atom Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar mengeluarkan kecaman kepada Teheran.

Kecaman yang dirilis pekan lalu ditentang oleh Teheram. Namun para pejabat Iran telah mengisyaratkan kesediaan untuk terlibat dengan pihak-pihak lain menjelang kembalinya Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump. Pemerintahan Trump sebelumnya menerapkan kebijakan “tekanan maksimum” terhadap Republik Islam tersebut.

Diplomat Iran Majid Takht-Ravanchi, yang menjabat sebagai wakil politik Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, dijadwalkan mewakili Iran dalam pembicaraan pada Jumat.

Sebelumnya, Takht-Ravanchi akan bertemu dengan Enrique Mora, wakil sekretaris jenderal urusan luar negeri Uni Eropa, menurut kantor berita negara IRNA.

BACA JUGA: Gagal Bekerja Sama untuk Kedua Kalinya dalam Lima Bulan Terakhir, IAEA Kecam Iran 

Pekan lalu, dewan gubernur Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) PBB yang beranggotakan 35 negara mengadopsi resolusi yang mengecam Iran karena kurangnya kerja sama dalam masalah nuklir.

Resolusi tersebut diajukan oleh Prancis, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat, dan secara aktif ditentang oleh Teheran.

Sebagai tanggapan, Iran mengumumkan peluncuran "sentrifugal canggih baru" yang dirancang untuk meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya.

Kesediaan Teheran untuk duduk bersama ketiga negara Eropa terjadi segera setelah kecaman terjadi hanya beberapa minggu sebelum Trump dijadwalkan kembali ke Gedung Putih pada Januari 2025.

Selama masa jabatan pertamanya, Trump fokus pada penerapan sanksi berat terhadap Iran menyusul penarikan sepihak Amerika Serikat dari perjanjian nuklir pentig 2015, tiga tahun setelah perjanjian itu dibuat.

Perjanjian antara Teheran dan negara-negara besar tersebut bertujuan memberikan keringanan bagi Iran dari sanksi Barat yang melumpuhkan sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya guna mencegah negara tersebut mengembangkan senjata nuklir.

Sebagai pembalasan atas penarikan Amerika Serikat, Teheran telah menurunkan kepatuhan terhadap perjanjian tersebut dengan meningkatkan tingkat pengayaan uraniumnya hingga 60 persen– mendekati 90 persen yang diperlukan untuk membuat bom nuklir.

Teheran secara konsisten membantah bahwa pihaknya berniat mengembangkan senjata nuklir.

BACA JUGA: PBB: Iran Abaikan Tekanan Internasional, Tingkatkan Cadangan Uranium Diperkaya

Menurut analis politik Mostafa Shirmohammadi, bagi Teheran, tujuan pembicaraan pada Jumat (29/11) adalah untuk menghindari skenario "bencana ganda", yang mana Iran akan menghadapi tekanan baru baik dari Trump maupun negara-negara Eropa,

Shirmohammadi mencatat bahwa dukungan Iran di antara negara-negara Eropa telah terkikis oleh tuduhan bahwa Iran menawarkan bantuan militer untuk invasi Rusia ke Ukraina.

Iran membantah tuduhan tersebut dan berharap dapat memperbaiki hubungan dengan Eropa, tetapi tetap mempertahankan sikap tegas.

Iran menegaskan negara itu berhak atas energi nuklir untuk tujuan damai. Namun menurut IAEA, Iran adalah satu-satunya negara yang tidak memiliki senjata nuklir yang memperkaya uranium hingga 60 persen.

Berdasarkan perjanjian 2015 – yang akan berakhir pada Oktober 2025 – pengayaan Iran dibatasi pada 3,67 persen. [ft/rs]