Berkaca dari pengalaman buruknya, seorang perempuan Muslim keturunan pasangan imigran Mesir di Amerika Serikat, berusaha memberdayakan sesamanya dengan mengajar ilmu bela diri. Tujuannya, mempersiapkan diri mereka secara fisik dan mental dalam menghadapi sentimen anti-Islam (Islamophobia). Kini organisasi yang dibangunnya telah meluas dan bahkan merambah ke sejumlah kota besar di dunia.
Rana Abdelhamid berusia 16 tahun ketika seorang pria menyerangnya saat berjalan kaki di Queens, New York. Pria itu berusaha merenggut jilbab yang dikenakannya. Serangan itu mengejutkannya, namun tidak membuatnya gentar. Pria itu tidak tahu bahwa Rana adalah pemegang sabuk hitam karate. Singkat kata, pria tersebut dipermalukan Rana.
Apa yang dilakukan Rana adalah di luar kebiasaan. Perempuan Muslim yang menjadi korban kekerasan di Amerika umumnya tidak berdaya, dan akhirnya hanya menjadi bagian dari data statistik polisi yang seringkali tidak jelas penyelesaiannya.
BACA JUGA: Petinju Perempuan Bostwana Melenggang ke Panggung OlimpiadeFakta memprihatinkan ini ingin diubah Rana. Pada tahun yang sama ia mengalami serangan itu, 2010, perempuan Amerika keturunan pasangan imigran Mesir ini pun berinisiatif mendirikan kelas bela diri bagi perempuan, khususnya Muslim. Awalnya ditentang, namun kemudian mendapatkan dukungan.
“Kebanyakan serangan yang dialami perempuan Muslim bukanlah serangan untuk merebut dompet mereka, melainkan serangan terhadap mereka sebagai perempuan Muslim. Perempuan Muslim mudah dikenali karena mereka berjilbab. Sentimen anti-Islam atau Islamophobia masih eksis di mana-mana, termasuk di Amerika,” kata Rana.
Tadinya kelas bela diri ini hanyalah kelas kecil. Namun kemudian Rana menjadikannya sebuah organisasi bernama Prakarsa Perempuan bagi Pemberdayaan Diri atau WISE. Seiring perjalanan waktu, organisasi itu berkembang cepat di berbagai penjuru AS, dan bahkan melebar ke banyak kota besar di dunia, seperti Edinburgh, Dublin dan Madrid.
Masih terlibat dalam WISE, Rana pun mengembangkan usahanya memberdayakan perempuan dengan menjadi Direktur Eksekutif Malikah, sebuah organisasi nirlaba internasional yang berkomitmen membangun rasa aman dan percaya diri melalui olahraga bela diri, bantuan hukum, organisasi kemasyarakatan dan literasi finansial.
BACA JUGA: Barbara Birungi Mutabazi, Perempuan 'Silicon Valley' dari AfrikaSudah ada sekitar 20 ribu perempuan di 20 kota besar di dunia yang dilatih lewat program-program Malikah. Yang tak kalah mengejutkan, lulusan Universitas Harvard ini masih menyempatkan diri untuk berkerja penuh di Google.
Sophia Hamidi merasa senang bisa bergabung dengan WISE. Mahasiswa Princeton University ini punya pengalaman yang mengerikan sewaktu masih belum mengenal ilmu bela diri.
“Pria itu tiba-tiba menyergap saya dari belakang. Orang-orang yang berada di sekitar saya tidak memperdulikannya. Saya benar-benar ketakutan, saya dikelilingi orang-orang, tapi mereka tidak menolong saya. Saya benar-benar sendirian. Sejak itu saya bertekad untuk bisa menjaga diri saya sendiri,” kata Sophia.
Menurut Sophia, banyak perempuan Muslim, khususnya mereka yang berhijab mengkhawatirkan kekerasan seperti itu terjadi pada diri mereka. Ia berpendapat, banyak orang Amerika tidak mengenal Muslim dan kebanyakan informasi yang mereka peroleh berasal dari berita-berita mengerikan mengenai tragedi-tragedi -- yang sayangnya -- mengatasnamakan Islam. Menurutnya banyak orang yang marah dan takut terhadap Muslim, dan kemarahan mereka ditumpahkan ke perempuan Muslim.
Lebih jauh Sophia menjelaskan, kekerasan terhadap perempuan Muslim tidak hanya fisik tapi juga verbal. Ia mengatakan, sejumlah teman perempuan seimannya pernah diolok-olok sewaktu berada di pusat perbelanjaan,
WISE kini juga merangkul perempuan-perempuan Yahudi. Rana mengatakan upaya itu dilakukan setelah seorang perempuan Yahudi mendekatinya dan bercerita bahwa kekerasan anti-Yahudi juga sedang meningkat di AS, dan banyak perempuan Yahudi yang menjadi korbannya.
Menurut Center for the Study of Hate and Extremism, sebetulnya kekerasan anti-Muslim menurun di AS dalam beberapa tahun belakangan. Pusat studi di California State University di San Bernardino ini, mengutip data FBI yang menunjukkan, sepanjang tahun 2019, ada 53 kejahatan berlatar belakang kebencian anti-Muslim di 10 kota besar di AS yang banyak populasi Muslimnya, seperti New York dan Los Angeles. Angka itu menurun dari 74 pada tahun sebelumnya.
BACA JUGA: Tak Indahkan Tabu, Perempuan Nigeria Belajar Bela DiriNamun, fakta itu dibantah Zainab Arain, manajer riset dan advokasi CAIR (Dewan Hubungan Islam-Amerika). Ia mengatakan, organisasinya justru mencatat adanya kenaikan. Arain merujuk pada data tahun 2017, di mana organisasinya mencatat 15 persen kenaikan kejahatan kebencian anti-Muslim, dan 17 persen insiden bias anti-muslim. Yang memprihatinkan menurut Arain, hanya sepertiga dari kasus bias anti-Muslim yang diselidiki badan-badan hukum AS.
Rana Abdelhamid mengatakan, belajar bela diri sangat bermanafaat bagi perempuan.
“Sebagai perempuan kita diajarkan untuk tidak banyak berbicara, sopan dan hormat. Ketika diserang keadaanya menuntut kita untuk melakukan hal yang sebaliknya. Kita harus bisa berteriak lantang dan otot-otot tubuh bergerak dengan cepat. Bela diri mengajarkan kita untuk tangguh, tidak hanya secara fisik tapi juga mental,” jelas Rana. [ab/uh]