Israel Tetap Ingin Serang Rafah, Mediator Pesimis soal Prospek Gencatan Senjata

Asap mengepul menyusul pemboman Israel terhadap Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada 15 Februari 2024. (Foto: AFP)

Mediator Qatar pada Sabtu (17/2) mengakui bahwa prospek jeda baru dalam perang Israel dengan Hamas “tidak terlalu menjanjikan” karena Israel menolak permohonan untuk menunda ancaman serangan terhadap Kota Rafah di Gaza.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa negara-negara asing yang mendesak Israel untuk menyelamatkan kota tersebut pada dasarnya meminta Israel untuk mengambil sikap "kalah dalam perang" melawan Hamas secara tidak langsung. Rafah adalah tempat perlindungan bagi 1,4 juta warga Palestina.

Upaya gencatan senjata semakin intensif pada minggu ini ketika Qatar dan sejumlah negara mediator, Mesir dan Amerika Serikat (AS) berusaha keras untuk meyakinkan gencatan senjata perlu dilakukan sebelum pasukan Israel memasuki Rafah. Kota itu merupakan pusat populasi besar terakhir di Jalur Gaza yang masih belum tersentuh oleh pasukan darat Israel.

Namun meskipun ada seruan langsung dari Presiden AS Joe Biden pada awal pekan ini, Netanyahu bersikeras bahwa operasi tersebut akan tetap berjalan terlepas dari apakah pembebasan lebih lanjut sandera Israel disetujui oleh Hamas.

Warga Palestina antre untuk mendapatkan makanan gratis di Rafah, Jalur Gaza, Jumat, 16 Februari 2024. (Foto: AP)

“Bahkan jika kami mencapainya, kami akan memasuki Rafah,” katanya dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, Sabtu (17/2).

Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, yang bertemu dengan para perunding dari Israel dan Hamas pada minggu ini, mengatakan upaya gencatan senjata menjadi rumit karena desakan "banyak negara" bahwa gencatan senjata baru itu harus diikuti oleh pembebasan sandera lebih lanjut.

“Pola yang terjadi dalam beberapa hari terakhir sebenarnya tidak terlalu menjanjikan,” katanya pada Konferensi Keamanan Munich.

Perkiraannya yang suram muncul ketika Hamas mengancam akan menangguhkan keterlibatannya dalam perundingan gencatan senjata kecuali pasokan bantuan dibawa ke bagian utara Jalur Gaza. Sejumlah lembaga bantuan telah memperingatkan akan terjadinya bencana kelaparan di wilayah itu.

“Negosiasi tidak dapat dilakukan ketika kelaparan melanda rakyat Palestina,” kata seorang sumber senior di kelompok militan Palestina kepada AFP, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena dia tidak berwenang untuk berbicara mengenai masalah tersebut.

BACA JUGA: Israel Tetap Berencana Serang Rafah di Tengah Kecaman Internasional

Sebelumnya, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh menegaskan kembali tuntutan kelompok tersebut, yang dianggap Netanyahu sebagai hal yang “menggelikan”.

Tuntutan itu termasuk penghentian total pertempuran, pembebasan tahanan Hamas dan penarikan pasukan Israel dari Gaza. Haniyeh yang berbasis di Qatar mengatakan Hamas "tidak akan menyetujui hal lain selain itu".

Netanyahu juga menolak wacana beberapa negara Barat untuk mengakui sepihak keberadaan negara Palestina, tanpa menunggu kesepakatan damai yang dinegosiasikan antara kedua belah pihak.

“Setelah pembantaian mengerikan pada 7 Oktober, tidak ada imbalan yang lebih besar bagi terorisme selain itu dan hal ini akan menghambat penyelesaian perdamaian di masa depan,” katanya.

Pengungsi Palestina berkemah di dekat pagar perbatasan antara Gaza dan Mesir, pada 16 Februari 2024 di Rafah, di Jalur Gaza selatan. (Foto: AFP)

Trauma Penggerebekan

Israel mengatakan pihaknya menahan 100 orang di salah satu rumah sakit utama di Gaza pada Sabtu (17/2) setelah pasukan menyerbu kompleks tersebut. Hal itu menimbulkan kekhawatiran mengenai nasib pasien dan staf yang terjebak di dalamnya.

Setidaknya 120 pasien dan lima tim medis terjebak tanpa air, makanan dan listrik di Rumah Sakit Nasser di kota Khan Yunis di selatan Gaza, menurut Kementerian Kesehatan.

Israel selama berminggu-minggu memusatkan operasi militernya di Khan Yunis, kampung halaman pemimpin Hamas di Gaza, Yahya Sinwar, yang diduga sebagai arsitek serangan 7 Oktober yang memicu perang tersebut.

Pertempuran sengit terjadi di sekitar Rumah Sakit Nasser – salah satu fasilitas medis besar terakhir di wilayah Palestina yang masih beroperasi sebagian.

BACA JUGA: PBB Peringatkan Imbas Operasi Militer Israel Bisa Meluas ke Mesir

Listrik padam dan generator dimatikan setelah penggerebekan, yang menyebabkan kematian enam pasien karena kekurangan oksigen, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

Tentara Israel mengatakan pasukannya memasuki rumah sakit tersebut pada Kamis (15/2), bertindak berdasarkan apa yang dikatakannya sebagai “intelijen yang dapat dipercaya” bahwa para sandera yang ditangkap dalam serangan 7 Oktober ditahan di sana. Belakangan mereka mengakui bahwa mereka tidak menemukan bukti kuat yang mereka miliki.

Tentara bersikeras bahwa mereka melakukan segala upaya untuk menjaga pasokan listrik ke rumah sakit, termasuk menyediakan generator alternatif.

Penggerebekan itu dikritik oleh petugas medis dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). [ah/ft]