Naglaa Ali Mahmoud tidak suka dengan titel 'first lady' atau ibu negara, dan lebih memilih sebutan pelayan bangsa.
Naglaa Ali Mahmoud mengatakan ia tidak suka dengan gelar 'first lady' atau ibu negara, dan lebih memilih sebutan pelayan bangsa.
Istri presiden Mesir yang baru terpilih, Mohamed Morsi, itu memang sangat berbeda dengan pendahulunya, Suzanne Mubarak. Meski keduanya sama-sama menikah dengan calon-calon presiden masa depan pada umur remaja, namun gaya Mubarak yang penuh gemerlap dan kebarat-baratan membuatnya berjarak dengan masyarakat Mesir. Kehidupan Mahmoud sebagai ibu rumah tangga yang memakai abaya lebih mencerminkan perempuan kebanyakan di negara itu.
Dalam wawancara yang jarang diberikan untuk kantor berita negara barat, Mahmoud berbincang dengan VOA pada masa awal kampanye presiden di rumah mereka di Edwa, sebelah Timur delta Sungai Nil. Saat suaminya sedang berada di lantai atas dan cucu-cucu mereka berikut kawan-kawannya dari desa bermain di kamar sebelah, Mahmoud mendiskusikan masa awal pernikahan, gerakan Muslim Brotherhood, dan apa yang akan terjadi di masa depan.
Tentang suami, yang dipanggilnya Dr. Morsi, Muslim Brotherhood, dan hidupnya sebagai istri belia dari suami yang sudah S2 di California.
“Dr. Morsi bergabung dengan Muslim Brotherhood 31 tahun yang lalu, saat kami tinggal di Los Angeles. Anggota gerakan tersebut sangat terbuka dan menjelaskan bahwa keterlibatan dalam gerakan berisiko penjara, dan salah satu hal yang penting adalah bahwa istri setuju dengan jalan hidup tersebut sehingga rumah tangga tidak goyah. Bagi kami [Brotherhood], keluarga adalah sangat penting. Jadi, jika sang istri tidak mampu menghadapi ekspektasi-ekspektasi tersebut, maka Anda tidak akan dipaksa bergabung. Dr. Morsi datang pada saya dan mengatakan bahwa Brotherhood mengatakan bahwa ada risiko penjara dan hilang pekerjaan. Semua itu terjadi pada saat kami masih di Amerika. Saya katakana padanya, ‘Tidak masalah. Tidak ada masalah. Mari kita jalani, Insya Allah.’”
Tentang memimpin negara, dan peran sentral Muslim Brotherhood dalam hidup mereka. Setelah terpilih menjadi presiden, Morsi secara terbuka keluar dari gerakan yang dipimpin oleh dewan syuro tersebut.
“Ini alasannya mengapa kita memiliki banyak kekhawatiran berada dalam posisi yang bertanggung jawab atau sensitive. Kami prihatin, tidak bahagia. Kami cemas dan takut, namun tentu saja pada akhirnya kami memiliki lembaga yang bisa kami patuhi. Kami patuh pada dewan syuro dan ini adalah kewajiban kami pada Mesir saat ini.”
Pesannya pada kaum Kristen Koptik di Mesir.
“Saya ingin mengatakan bahwa kita ada di tanah air yang sama, keturunan yang sama. Islam tidak membedakan antara Muslim dan Kristen. Sebaliknya, kami belajar bahwa dalam Islam, umat Muslim dan Kristen memiliki hak penuh yang sama di negara yang sama. Mereka memiliki apa yang kami punya, dan kita semua memiliki kewajiban yang sama. Saya pribadi mengenal anggota masyarakat beragama Kristen, baik perempuan maupun laki-laki, dan saya bersyukur pada Tuhan, hubungan saya dengan mereka baik.”
Tentang peran sebagai ibu negara dan presiden.
”Dalam Muslim Brotherhood, kedudukan presiden dianggap sebagai pelayan nomor satu, karena presiden republic ini seharunya menjadi pelayan utama Mesir. Ia yang akan menjadi sponsor, dan ini adalah ajaran Islam. Dalam Islam, siapa saja yang memimpin dan mengelola urusan negara, seperti yang dikatakan oleh khalifah Omar Ibn El Khattab, ‘jika ada unta yang jatuh di daerah Levant, saya yang akan diminta pertanggungjawaban.’ Inilah Islam.”
Tentang suaminya.
”Ia orang yang sangat seimbang, sangat serius. Ini bukan karena ia suami saya. Tapi memang sifatnya seperti itu. Ia sangat seimbang dan rasional serta bermental politis. Saya telah menikah dengannya selama hampir 31, 32 tahun. Saya tidak bilang dia pelawak, tapi ia punya selera humor dan pandai menghibur. Ia serius di saat yang serius dan menghibur di kala susah.”
Istri presiden Mesir yang baru terpilih, Mohamed Morsi, itu memang sangat berbeda dengan pendahulunya, Suzanne Mubarak. Meski keduanya sama-sama menikah dengan calon-calon presiden masa depan pada umur remaja, namun gaya Mubarak yang penuh gemerlap dan kebarat-baratan membuatnya berjarak dengan masyarakat Mesir. Kehidupan Mahmoud sebagai ibu rumah tangga yang memakai abaya lebih mencerminkan perempuan kebanyakan di negara itu.
Dalam wawancara yang jarang diberikan untuk kantor berita negara barat, Mahmoud berbincang dengan VOA pada masa awal kampanye presiden di rumah mereka di Edwa, sebelah Timur delta Sungai Nil. Saat suaminya sedang berada di lantai atas dan cucu-cucu mereka berikut kawan-kawannya dari desa bermain di kamar sebelah, Mahmoud mendiskusikan masa awal pernikahan, gerakan Muslim Brotherhood, dan apa yang akan terjadi di masa depan.
Tentang suami, yang dipanggilnya Dr. Morsi, Muslim Brotherhood, dan hidupnya sebagai istri belia dari suami yang sudah S2 di California.
“Dr. Morsi bergabung dengan Muslim Brotherhood 31 tahun yang lalu, saat kami tinggal di Los Angeles. Anggota gerakan tersebut sangat terbuka dan menjelaskan bahwa keterlibatan dalam gerakan berisiko penjara, dan salah satu hal yang penting adalah bahwa istri setuju dengan jalan hidup tersebut sehingga rumah tangga tidak goyah. Bagi kami [Brotherhood], keluarga adalah sangat penting. Jadi, jika sang istri tidak mampu menghadapi ekspektasi-ekspektasi tersebut, maka Anda tidak akan dipaksa bergabung. Dr. Morsi datang pada saya dan mengatakan bahwa Brotherhood mengatakan bahwa ada risiko penjara dan hilang pekerjaan. Semua itu terjadi pada saat kami masih di Amerika. Saya katakana padanya, ‘Tidak masalah. Tidak ada masalah. Mari kita jalani, Insya Allah.’”
Tentang memimpin negara, dan peran sentral Muslim Brotherhood dalam hidup mereka. Setelah terpilih menjadi presiden, Morsi secara terbuka keluar dari gerakan yang dipimpin oleh dewan syuro tersebut.
“Ini alasannya mengapa kita memiliki banyak kekhawatiran berada dalam posisi yang bertanggung jawab atau sensitive. Kami prihatin, tidak bahagia. Kami cemas dan takut, namun tentu saja pada akhirnya kami memiliki lembaga yang bisa kami patuhi. Kami patuh pada dewan syuro dan ini adalah kewajiban kami pada Mesir saat ini.”
Pesannya pada kaum Kristen Koptik di Mesir.
“Saya ingin mengatakan bahwa kita ada di tanah air yang sama, keturunan yang sama. Islam tidak membedakan antara Muslim dan Kristen. Sebaliknya, kami belajar bahwa dalam Islam, umat Muslim dan Kristen memiliki hak penuh yang sama di negara yang sama. Mereka memiliki apa yang kami punya, dan kita semua memiliki kewajiban yang sama. Saya pribadi mengenal anggota masyarakat beragama Kristen, baik perempuan maupun laki-laki, dan saya bersyukur pada Tuhan, hubungan saya dengan mereka baik.”
Tentang peran sebagai ibu negara dan presiden.
”Dalam Muslim Brotherhood, kedudukan presiden dianggap sebagai pelayan nomor satu, karena presiden republic ini seharunya menjadi pelayan utama Mesir. Ia yang akan menjadi sponsor, dan ini adalah ajaran Islam. Dalam Islam, siapa saja yang memimpin dan mengelola urusan negara, seperti yang dikatakan oleh khalifah Omar Ibn El Khattab, ‘jika ada unta yang jatuh di daerah Levant, saya yang akan diminta pertanggungjawaban.’ Inilah Islam.”
Tentang suaminya.
”Ia orang yang sangat seimbang, sangat serius. Ini bukan karena ia suami saya. Tapi memang sifatnya seperti itu. Ia sangat seimbang dan rasional serta bermental politis. Saya telah menikah dengannya selama hampir 31, 32 tahun. Saya tidak bilang dia pelawak, tapi ia punya selera humor dan pandai menghibur. Ia serius di saat yang serius dan menghibur di kala susah.”