Suratmi, isteri terduga teroris Siyono yang meninggal ketika diperiksa Densus 88 Anti Teror Polri hari Selasa (29/3) mendatangi kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta untuk mengadukan ketidakadilan yang dialami suaminya dan meminta kesediaan mereka menjadi kuasa hukumnya.
Dalam kesempatan itu, Suratmi menyerahkan uang dalam dua bungkus kertas koran yang disegel lakban berwarna cokelat, yang diterimanya dari Densus 88 untuk biaya pemakaman suaminya – Siyono – dan pendidikan kelima anaknya. Suratmi tidak menjelaskan berapa besar uang tersebut.
Suratmi mengaku ketika berada di Jakarta ia telah diminta untuk menandatangani surat yang intinya tidak menuntut kematian suaminya.
“Saya diminta untuk tanda-tangan. Saya di antaranya diminta untuk mengikhlaskan, saya tidak akan menempuh jalur hukum, saya tidak akan melakukan otopsi. Itu permintaan mereka kepada saya. Yang menyodorkan itu dari Densus 88, yang juga membawa saya ke Jakarta. Yang menemui kakak saya, saya masih bingung tapi setelah itu saya shalat istikharoh,” tuturnya.
Dalam pertemuan antara keluarga Siyono dan pengacaranya Sri Kalono, PP Muhammadiyah dan KOMNAS HAM, Trisno Raharjo dari Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menerima permintaan Suratmi.
“Keluarga korban dalam hal ini isteri, telah memberikan kuasa kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah kini menjadi kuasa dari isteri almarhum Siyono dan segala tindakan yang kami anggap mengganggu ketenangan isteri almarhum Siyono merupakan tindakan melawan hukum yang tentu Pimpinan Pusat Muhammadiya yang sudah mendapatkan kuasa akan melakukan langkah-langkah hukum terhadap hal tersebut,” ujar Trisno.
Komisioner KOMNAS HAM, Maneger Nasution menambahkan, KOMNAS HAM juga menyetujui permintaan isteri Siyono agar dilakukan otopsi terhadap jenazah suaminya.
“Kita sudah sepakat akan melakukan otopsi dengan waktu yang nanti akan diberi tahu berikutnya. Menurut perspektif HAM, apa kaitannya antara otopsi dan HAM. Keluarga sampai saat ini tidak tahu apa penyebabnya, karena apa dan seterusnya. Sebetulnya keluarga mempunyai hak untuk tahu informasi yang cukup kenapa kemudian keluarganya meninggal,” kata Maneger.
Anggota KOMNAS HAM Siane Indriani mengatakan, dari catatan KOMNAS HAM, 90% terduga teroris mengalami penyiksaan. Bahkan sebelum kasus Siyono mencuat, sejak tahun 2003 ada 118 terduga teroris yang mengalami penyiksaan. KOMNAS HAM menegaskan bahwa tindakan intimidasi dan penyiksaan ini harus dihentikan.
Siane mengatakan, “Jangan kemudian dibalik bahwa apa yang kita perjuangkan ini, kita dianggap memperjuangkan teroris, seolah kita membela teroris, itu yang kita tolak. Kita justru mengecam keras teroris. Tetapi kita sudah sampaikan berkali-kali; perlakuan-perlakuan kepada terduga (teroris) menjadi haknya karena itu belum bisa disebut teroris sampai kemudian ketukan palu hakim menentukan dia itu teroris. Jadi harus ada mekanisme pertanggungjawaban secara hukum.”
Ketika menerima Suratmi hari Selasa (29/3), Ketua PP Muhammadiyah yang membawahi Hukum dan HAM, Busyro Muqodas mendesak presiden untuk mengevaluasi tata kerja BNPT dan Densus 88.
“Sudah saatnya presiden mengambil keputusan segera untuk membentuk Tim Independen untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pola kerja, kinerja BNPT dan Densus 88. Yang kedua; memerintahkan kepada BPK, BPKP dan lembaga-lembaga yang terkait dengan transaksi-transaksi keuangan seperti PPATK untuk segera mengambil keputusan kelembagaan meng-audit dana dari mana untuk operasional BNPT dan Densus 88 itu,” kata Busyro.
Siyono, warga Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang berusia 33 tahun, ditangkap anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror usai menunaikan sholat magrib di masjid yang terletak di sebelah rumahnya Selasa lalu (8/3). Selang tiga hari kemudian, tepatnya pada Jumat siang (11/3), ayah lima anak itu dikabarkan meninggal saat diperiksa penyidik Densus 88. [ms/em]