Jerman mulai menerapkan pemeriksaan di semua perbatasan daratnya sejak Senin (16/9) selagi pemerintah berupaya mengurangi jumlah pencari suaka dan migran ilegal yang memasuki negara itu.
Beberapa negara yang berbatasan dengan Jerman mengkritik rencana tersebut, yang menurut mereka merusak kebebasan bergerak, yang secara luas dipandang sebagai prinsip inti Uni Eropa.
Pemeriksaan cepat
Polisi dan penjaga perbatasan Jerman mendirikan pos-pos pemeriksaan di persimpangan jalan utama sejak tengah malam. Petugas juga menaiki kereta, trem, dan feri yang datang dari negara tetangga, melakukan pemeriksaan cepat terhadap penumpang yang diduga sebagai migran ilegal.
“Pemeriksaan tersebut ditujukan pada kendaraan yang kami curigai berpenumpang migran ilegal,” kata juru bicara polisi federal Jerman Dieter Hutt dalam pertemuan dengan wartawan di kota Kehl, Jerman, yang terletak di seberang perbatasan dari kota Strasbourg, Prancis.
“Kontrol kami sangat fleksibel dan bergantung pada situasi, yang berarti bahwa kami tidak mendirikan pos perbatasan klasik dan kami tidak memeriksa setiap kendaraan atau setiap orang,” katanya.
BACA JUGA: Jerman Mulai Lakukan Pemeriksaan di Semua Perbatasan DaratPihak berwenang mengatakan pemeriksaan perbatasan akan tetap berlaku setidaknya selama enam bulan.
Namun, Menteri Dalam Negeri Jerman Nancy Faeser juga mengatakan pemeriksaan akan tetap berlaku hingga peraturan baru Uni Eropa tentang suaka dan migrasi mulai berlaku. Kesepakatan yang disetujui antara negara-negara anggota pada bulan Mei tahun ini, tidak akan berlaku hingga paling cepat Juli 2026, dan masih menghadapi banyak rintangan politik dan praktiknya.
Zona Schengen
Jerman merupakan bagian dari zona Schengen Eropa, yang konon memungkinkan kebebasan bergerak tanpa paspor di 29 negara Eropa. Namun, para anggotanya dapat memberlakukan pemeriksaan di perbatasan jika ada ancaman serius terhadap kebijakan publik atau keamanan internal.
Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan langkah itu diperlukan.
“Jumlah (migran) yang datang ke Jerman secara tidak teratur terlalu besar. Oleh karena itu, pemerintah Jerman berkepentingan untuk memastikan bahwa kita dapat mengendalikan hal-hal ini melalui manajemen migrasi ilegal yang baik,” kata Scholz dalam konferensi pers hari Minggu (15/9) saat dia berkunjung ke Uzbekistan.
Reaksi keras pemilih
Jerman menerima lebih dari satu juta migran pada tahun 2015 setelah Gerakan “Musim Semi” Arab, terutama dari negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Negara ini juga menampung lebih dari satu juta pengungsi Ukraina yang melarikan diri dari invasi Rusia.
Masuknya migran tersebut telah memicu reaksi keras dari sebagian pemilih, yang beralih ke partai sayap kanan antiimigrasi Alternatif untuk Jerman, yang meraih kemenangan mengejutkan dalam pemilihan daerah baru-baru ini. Partai tersebut berharap mendapatkan hasil yang sama dalam pemilihan negara bagian Brandenburg pada tanggal 22 September mendatang.
Serangan teroris oleh pencari suaka asal Suriah yang gagal bulan lalu di kota Solingen, yang menewaskan tiga orang, menambah tekanan pada pemerintah untuk bertindak.
BACA JUGA: Jerman Tahan Pria Suriah yang Diduga Berencana Bunuh Tentara dengan ParangBanyak negara tetangga Jerman di Eropa juga bereaksi dengan marah terhadap pemeriksaan perbatasan tersebut.
Perdana Menteri Polandia Donald Tusk menuduh Scholz mengorbankan prinsip-prinsip Eropa. “Saya tidak ragu bahwa situasi politik internal di Jerman yang menyebabkan langkah-langkah ini dilaksanakan, dan bukan kebijakan kami terhadap imigrasi ilegal di perbatasan kami,” kata Tusk minggu lalu, setelah Jerman mengumumkan pemeriksaan di perbatasan.
Kesepakatan Rwanda
Sementara itu, seorang pejabat pemerintah baru-baru ini mengatakan bahwa Jerman dapat berupaya mencapai kesepakatan dengan Rwanda untuk mengirim pencari suaka ke negara itu untuk diproses, menggunakan fasilitas yang ada.
Joachim Stamp, yang merupakan perwakilan khusus Jerman untuk perjanjian migrasi dan juga anggota Partai Demokrat Bebas, bagian dari pemerintah koalisi, mengatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat mengawasi skema yang akan menggunakan fasilitas suaka yang ada di Rwanda. “Saat ini kami tidak memiliki negara (ketiga) yang maju, kecuali Rwanda,” kata Stamp dalam podcast Table Media pada 6 September.
Inggris menegosiasikan rencana serupa pada tahun 2022, tetapi dianggap melanggar hukum dan akhirnya dibatalkan oleh pemerintahan Buruh yang baru pada bulan Juli.
Scholz sebelumnya menolak gagasan pemrosesan migran tidak berdokumen di negara ketiga, seperti Rwanda. [lt/uh]