Pemerintah mendorong pemanfaatan offshore aquaculture sebagai solusi mengatasi perikanan tangkap di Indonesia yang semakin menurun, sekaligus meningkatkan perekonomian nelayan kecil yang sering terkendala cuaca buruk saat melaut. Hal ini terkait turunnya produksi tangkapan ikan nelayan, terutama tuna yang menjadi salah satu komoditas perikanan favorit di Indonesia. Selama ini ikan tuna sirip kuning banyak ditangkap oleh nelayan, karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Dikatakan oleh Subandono Diposaptono, dari Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kondisi geografis lautan Indonesia yang relatif tenang, menjadi potensi diterapkannya offshore aquaculture untuk budidaya perikanan lepas pantai. Subandono menyebut ada 20 provinsi di Indonesia yang dapat memanfaatkan offshore aquaculture sebagai upaya meningkatkan produksi perikanan.
“Indonesia itu calm belt, daerah yang tenang, jadi gelombangnya tidak seganas seperti di Jepang, Norwegia, ya paling tingginya rata-rata 3 meter. Jadi disebut dengan calm belt, daerah yang tenang, yang cocok untuk budidaya laut, terutama offshore aquaculture. Mungkin kita identifikasi sekitar 20 provinsi yang punya potensi itu, dan kalau masalah tsunami, tidak perlu takut karena tsunami itu periodenya ratusan tahun. Kalau usaha ya kan paling ya 2 tahun, 3 tahun, paling lama 5 tahun kembali modal,” kata Subandono.
Offshore aquaculture sudah banyak digunakan di negara-negara maju, seperti Norwegia, Brasil, dan Meksiko, yang mampu meningkatkan pendapatan negara melalui produksi perikanan nasional. Namun biaya yang mahal menjadi tantangan pemerintah Indonesia untuk menyiapkan model offshore aquaculture yang murah dan ramah lingkungan.
Ketua Pusat Studi Kelautan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Nur Syahroni mengatakan, ITS sedang mengembangkan model offshore aquaculture dengan teknologi tinggi namun berbiaya murah, sehingga dapat dimanfaatkan oleh kelompok nelayan untuk melakukan budidaya ikan lepas pantai.
“Biayanya sekitar puluhan milyar (rupiah), sepuluh sampai dua puluh milyar kalau untuk yang 20 meter. Sedangkan untuk size yang lebih besar di dua puluh sampai tiga puluh milyar. Itu sudah maintenance, sudah operation, sudah instalasi dan sebagainya. Itu dengan catatan teknologinya dari sana (luar negeri). Nah ini kita di Pusat Studi Kelautan ITS ini mengembangkan supaya lebih cost effective, lebih murah. Makanya ini tantangan kami untuk membuat teknologi, bagaimana supaya bangunan itu, fasilitasnya bisa lebih murah, terjangkau, sehingga kita bisa memberdayakan ekonomi masyarakat,” tutur Syahroni.
Kepala Laboratorium Perencanaan dan Konstruksi Bangunan Laut Departemen Teknik Kelautan, Fakultas Teknik Kelautan ITS, Yeyes Mulyadi menjelaskan, saat ini perikanan budidaya di pantai sudah memberikan pemasukan yang cukup besar pada sektor perikanan. Melalui pembangunan offshore aquaculture yang ditargetkan dapat dimulai pada 2018 mendatang, Yeyes optimis budidaya ikan lepas pantai akan ikut meningkat disertai industri turunannya.
“Peningkatan cukup signifikan ikan dari produksi budidaya, cuma ini yang datanya masih budidaya di onshore, di pantai. Di lepas pantai ini belum ada. Nanti ada budidaya lepas pantai, (pasti) melonjak. Dan kalau sudah melonjak, tinggal nanti menata industri turunannya. Industri turunan perlu ditata, misal nanti industri yang membuat minyak ikan, industri membuat pakan ikan, ini harus ditata industri turunannya. Jadi offshore aquaculture hanya trigger, setelah itu akan menjadi industri-industri turunan yang harus kita set up, harus by design,” tukas Yeyes.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan Kota Probolinggo, Budi Krisyanto menyambut baik rencana pembangunan offshore aquaculture atau budidaya ikan lepas pantai, karena potensi perikanan di Probolinggo yang cukup besar akan semakin terangkat. Tidak hanya sektor perikanan, sektor pariwisata dan industri juga akan ikut berkembang dengan hadirnya offshore aquaculture di Indonesia, khususnya di Jawa Timur.
“Pengembangan offshore aquaculture ini sangat-sangat potensial untuk dikembangkan, karena supaya terintegrasi paling tidak, bagaimana perikanan laut ini bisa berdaulat, kemudian ada keberlanjutannya, dan juga ada arah untuk pengembangan pariwisata baharinya. Jadi sinergi yang luar biasa, dan saya optimistis ini menjadi sebuah potensi yang bisa prospektif kedepan,” ujar Budi Krisyanto. [pr/uh]