Ridwan Kamil, yang menjabat sejak September 2018, dilaporkan berkomitmen menggelontorkan hibah setengah miliar per tahun kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat. Hal itu disampaikan dalam pertemuan perdana yang tertutup antara gubernur dan 12 orang pengurus FKUB Jabar di Gedung Sate, Bandung, Kamis lalu (17/1/2019).
BACA JUGA: Jaga Keragaman Jabar: Ridwan Kamil Tawarkan “Hands-On dan Komunikasi”Ketua FKUB Jabar Rafani Akhyar mengatakan setengah miliar itu berarti 10 kali lipat dari anggaran gubernur sebelumnya, Ahmad Heryawan. Pada masa Aher, lembaganya didukung dengan 50 juta per tahun atau total 250 juta untuk lima tahun.
Rafani mengatakan, anggaran baru membuat FKUB ‘bisa bernapas lega’ dan membuatnya dapat menjalankan program yang selama ini dirancang.
Your browser doesn’t support HTML5
“Cuma amunisi itu kan baru dari gubernur sekarang yang membuat harapan (bagi) kita. Kalau dari kemarin-kemarin proporsional perhatian ke FKUB, sudah jalan sebetulnya,” ujarnya kepada VOA usai bertemu gubernur.
Pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu awalnya hanya untuk silaturahmi. Namun, perwakilan agama Khonghucu, Tony Rudianto, mengatakan para tokoh agama ini langsung disodori anggaran dan bantuan kantor sekretariat.
BACA JUGA: Keberagaman Jabar Dinilai “Stagnan dan Memburuk”“Proaktif. Artinya sebelum kita minta dia sudah sodorkan dulu. Ini sebuah kegembiraan. Artinya untuk FKUB untuk tahun ini ada tambahan dana untuk kegiatannya. Terus ada harapan untuk dibangun satu tempat kantornya FKUB,” ujar Tony yang mewakili Majelis Tinggi Agama Khonghucu (Matakin) ini.
Perwakilan Kristen Protestan, Berkat Mendrofa, mengatakan gubernur juga menegaskan ulang komitmennya menjaga keberagaman di Jawa Barat.
“Visi beliau tentang bagaimana berlaku adil kepada semua umat. Tentu sesuai dengan porsi dan keberadaan kita. Baik dari semua agama ingin menyatakan semua agama itu adalah bagian yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh beliau,” ujarnya yang mewakili Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Setara Institute pada 2015 menempatkan Jawa Barat sebagai daerah dengan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tertinggi (44 kasus). Pada tahun yang sama Wahid Institute juga mencatat telah terjadi 46 peristiwa pelanggaran KBB di provinsi ini. Posisi kedua disandang DKI Jakarta.
Dalam Indeks Kota Toleran 2017 dan 2018, kota-kota besar di Jawa Barat seperti Bandung, Depok, dan Bogor, kerap menjadi sorotan. Indeks ini meriset 94 kota di Indonesia. Kota Bandung beranjak membaik dari posisi 83 (2017) ke 69 (2018). Kota Depok dan Bogor dari posisi 90 dan 92 (2017) menjadi 88 dan 89 (2018). Kendati membaik, Depok dan Bogor masih masuk di sepuluh terburuk.
500 Juta per Tahun untuk Seminar dan Pelatihan?
Lalu apa rencana FKUB dengan uang segar ini? FKUB Jabar menargetkan rangkaian seminar dan pelatihan kepada kelompok akar rumput, bukan hanya tokoh agama. Sebuah gerakan bertajuk Forum Muda Lintas Iman (Formula) juga disiapkan untuk menyasar kelompok muda.
Rafani, yang juga Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat ini, mengatakan FKUB pun akan merangkul pihak-pihak lain.
“Termasuk bukan hanya akar rumputnya tetapi aktor-aktor. Ini kan aktor yang suka bikin. Itu akan kami dekati juga,” ujarnya sambil menjelaskan bahwa tokoh-tokoh agama sudah selesai dengan diskusi toleransi.
Sebagian uang itu, ujarnya, akan digunakan untuk penelitian, termasuk menetapkan metodologi dan definisi akademik untuk intoleransi.
“Justru kita didorong melalui seminar-seminar dan dialog-dialog, sehingga kita bisa menetapkan metodologi yang harus kita pakai di dalam menetapkan istilah intoleransi atau toleransi,” ujar Kiagus Zaenal Mubarok yang juga Ketua Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS) di Bandung.
Kelompok sipil di Jawa Barat mendorong FKUB mengalokasikan dana untuk melatih para pemimpin daerah di tingkat kota/kabupaten hingga RT/RW. Firman Priatno dari Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) mengatakan para pemimpin lokal menjadi garda terdepan dalam menghadapi peristiwa intoleransi.
“Pokoknya mereka yang di kepemimpinan daerah, tapi yang lebih dekat dengan masyarakat. Supaya tidak membuat kebijakan yang salah. Kemudian ketika ada penyerangan, apa yang harus mereka lakukan sebagai aparat negara,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Firman juga mengingatkan agar FKUB tidak terjebak pada acara-acara seremonial serta menggaet komunitas lintas-iman lokal atau pun karang taruna. “Acara-acara kecil yang memang rutin dan lebih mengedepankan perjumpaan yang real. Karena itu yang paling esensial dan dapat dirasakan langsung efeknya bagi masyarakat,” jelasnya yang juga dari Pusat Kajian Kebhinekaan dan Perdamaian (PKKP) Universitas Kristen Maranatha di Bandung ini. [rt/em]