Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Karomani, membuka tabir jalur mandiri masuk perguruan tinggi. Jalur mandiri adalah salah satu pintu masuk calon mahasiswa untuk mendapatkan bangku di kampus melalui keputusan setiap pengelola perguruan tinggi negeri. Diakui atau tidak, jalur ini mempertimbangkan faktor sumbangan dari calon mahasiswa. Kampus negeri berkilah, jalur mandiri diperlukan karena menjadi salah satu sumber dana operasional mereka.
Dosen yang juga peneliti dan aktivis antikorupsi dari Pusat Studi Antikorupsi, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, menyampaikan itu ketika dihubungi VOA, Minggu (21/8) malam.
“Karena memang ada ruang yang dimunculkan. Ada ruang yang dibangun dari skema kelas mandiri itu. Jadi, transaksi jual beli kursi pun, itu diakibatkan oleh dibukanya kelas-kelas mandiri yang memungkinkan, transaksi jual beli itu terjadi antara universitas dengan calon mahasiswa,” kata Herdiansyah.
Sebelumnya KPK telah menangkap Rektor Unila Prof Dr Karomani pada Jumat (19/8) malam di Bandung. Karomani memimpin sebuah skema tersembunyi dalam penerimaan mahasiswa baru di kampusnya. Melalui sejumlah orang kepercayaannya, Karomani menerima uang dari orang tua calon mahasiswa yang diterima di Unila melalui cara gelap tersebut.
Kelas mandiri memberi peluang kepada kampus negeri untuk memberi opsi sumbangan dari calon mahasiswa. Karena keputusan diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa berada di tangan kampus, Karomani memanfaatkan celah tersebut. Secara sederhana, dia memperjualbelikan kursi di perguruan tinggi negeri yang dipimpinnya, kepada mereka yang mau membayar.
“Sebenarnya kalau untuk jangka pendek, saya lebih sepakat kalau-kelas mandiri itu dihilangkan saja. Justru kelas regulernya yang mesti ditambah. Cuma, lagi-lagi, hampir setiap kampus pasti mengatakan itu salah satu sumber pendanaan,” lanjut Herdiansyah.
Imbas Otonomi Kampus
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi terus mengembangkan skema otonomi kampus. Sayangnya, menurut Herdiansyah, semangat itu lebih menonjol dalam bidang keuangan, dengan kecenderungan negara melepas tanggung jawab pembiayaan pendidikan melalui kampus.
Padahal, jalur mandiri masuk kampus negeri punya banyak implikasi. Salah satunya, lanjut Herdiansyah, adalah soal kualitas kampus itu sendiri.
BACA JUGA: Menggugat Kebebasan Akademik di Kampus (Merdeka)“Bayangkan, kalau kemudian seseorang yang hanya punya kemampuan keuangan, tetapi tidak diimbangi kemampuan daya pikir, kemudian masuk secara mudah ke universitas karena dia punya keuangan yang lebih. Itu pasti akan menurunkan kualitas pendidikan kita,” ujarnya.
Herdiansyah mengingatkan, ketika negara mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab pembiayaan pendidikan tinggi, kampus akan mencari cara untuk memenuhi kebutuhannya. Kampus pun kemudian lebih berorientasi pada pendanaan daripada tujuan aslinya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Di lingkungan akademisi, perbincangan mengenai jalur mandiri telah lama muncul dan melahirkan keprihatinan. OTT KPK kali ini membuktikan kekhawatiran para akademisi itu.
Jalur Tidak Transparan
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, ketika memberikan keterangan resmi terkait OTT Rektor Unila, menyebut jalur mandiri memang kurang terukur.
“KKP memang telah melakukan kajian dan menilai bahwa penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri, kurang terukur, kurang transparan dan kurang berkepastian,” ujarnya.
Jalur mandiri semestinya adalah jalur afirmasi, yang disediakan perguruan tinggi negeri untuk memberi ruang kepada kelompok marjinal, agar dapat mengakses kursi kampus. Mereka yang bisa dilayani melalui jalur ini misalnya calon mahasiswa dari keluarga miskin, mereka yang berasal dari daerah tertinggal atau calon mahasiswa berkebutuhan khusus.
“Namun karena jalur mandiri ini ukurannya sangat lokal, tidak transparan dan tidak terukur, maka kemudian menjadi tidak akuntabel. Karena tidak akuntabel, maka kemudian menjadi celah terjadinya tindak pidana korupsi,” tambah Ghufron.
KPK berharap ada perubahan dalam skema ini ke depan.
Dalam keterangannya, KPK menyebut Rektor Unila telah berhasil mengumpulkan uang untuk dirinya sendiri mencapai sekitar Rp5 miliar. Dalam satu rekening terpisah, dana sebesar lebih Rp600 juta telah dipakai sekitar Rp575 juta. Sementara itu, ada juga uang hasil penerimaan dari orang kepercayaan yang berbeda, yang nilainya mencapai Rp4,4 miliar.
“Uang tersebut telah dialihkan untuk menjadi tabungan, deposito, emas batangan, dan juga masih tersimpan dalam bentuk uang tunai, yang totalnya senilai Rp4,4 miliar,” tambah Ghufron.
Kementerian Janjikan Evaluasi
Pejabat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Lindung Saut Maruli Sirait, mengaku pihaknya sangat prihatin dan menyesalkan OTT KPK kali ini. Meski begitu, mereka menghormati proses hukum yang berjalan dan siap bekerja sama membantu KPK dalam proses lebih lanjut.
“Kami sangat berharap ini menjadi kasus terakhir di semua perguruan tinggi negeri, dan kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi pimpinan perguruan tinggi negeri dan seluruh jajarannya,” kata Lindung dalam jumpa pers bersama KPK.
BACA JUGA: Kejar Kualitas, Pemerintah Luncurkan Dana Abadi Perguruan TinggiKemendikbudristek juga meminta adanya transparansi dan akuntabilitas dalam semua jalur penerimaan mahasiswa baru, termasuk jalur mandiri. Lindung mengakui, jalur mandiri adalah salah satu titik rawan yang perlu diperbaiki.
“Kami berterimakasih kepada KPK, yang membantu Kemendikbudristek, sehingga ke depannya atta kelola khususnya perguruan tinggi negeri menjadi lebih bebas dari korupsi,” tambah Lindung.
Kemendikbudristek memandang, perlu adanya evaluasi terkait akuntabilitas dan transparansi. [ns/ah]