Jelang Pemilu 2024, Suara Generasi Muda AS Terpecah

Seorang mahasiswa duduk di tangga gedung kampus Ohio State University di Columbus, Ohio, 6 November 2023. (Foto: Megan Jelenger/ AFP)

Hasil suara pilpres Amerika Serikat pada 2020 mengantarkan Joe Biden ke Gedung Putih. Namun, sejumlah jajak pendapat menunjukkan dirinya berpotensi kehilangan mayoritas suara pemilih muda pada pemilu 2024 mendatang.

Pada pemilu Amerika Serikat (AS) pada 2020 yang mempertemukan presiden petahana kala itu, Donald Trump, dan Joe Biden, para pemilih muda mengantarkan Biden dan partai Demokrat melenggang ke Gedung Putih. Namun, pada 2024 mendatang, para aktivis dan ahli strategi Partai Demokrat memperingatkan bahwa tidak ada indikasi yang menunjukkan skenario yang sama akan terulang.

Presiden AS Joe Biden, yang berusia 80 tahun, tampil buruk dalam hasil jajak pendapat. Ia bisa kehilangan sebagian besar suara kaum muda akibat kebijakan-kebijakannya, mulai dari isu perekonomian hingga sikapnya dalam mengatasi konflik antara Israel dan Hamas.

BACA JUGA: Jajak Pendapat: Trump Unggul di Lima Negara Bagian Utama

Kantor berita AFP menjumpai beberapa mahasiswa dari Ohio State University di Columbus, Ohio, sebelum persaingan Biden-Trump mungkin akan kembali terjadi, untuk menakar suara para calon pemilih muda di salah satu negara bagian yang hasil pemilunya akan menentukan kemenangan salah satu kandidat.

Warga Ohio, yang kini dipimpin oleh seorang gubernur dari Partai Republik, cenderung memilih Trump pada 2016 dan 2020. Namun pada Oktober 2023 lalu, mayoritas warga Ohio memilih memasukkan hak aborsi ke dalam konstitusi negara bagian itu.

Raiden Sipes, mahasiswa Ohio State University, di kampus universitas di Columbus, Ohio, 6 November 2023. (Foto: Megan Jelenger/AFP)

Hak Aborsi menjadi isu besar antara Partai Demokrat dan Republik. Partai Demokrat sendiri mendukung hak aborsi, sedangkan Partai Republik menolaknya. Perubahan tersebut jadi kemenangan bagi Partai Demokrat, yang lantas disesalkan oleh kaum konservatif dari Partai Republik.

Menyoal Harga BBM dan Usia Biden

Raiden Sipes, mahasiswa astrofisika, menggambarkan dirinya sebagai seorang sentris. Menginjak usia 18 tahun, ia akan memilih presiden untuk pertama kalinya. Namun, sejauh ini, ia belum tahu siapa yang akan dipilihnya. Ketika ditanya apakah ia akan memilih Joe Biden, Raiden menghela napas dan menjawab, “Saya pikir ia belum cukup berbuat banyak.”

Biden telah berulang kali membanggakan kebijakannya yang bernama “Bidenomics”, tetapi Raiden tidak teryakinkan.

“Harga bahan bakar naik secara eksponensial sejak ia menjabat. Itulah yang benar-benar membuat saya kecewa,” katanya.

BACA JUGA: Biden Berulang Tahun ke-81 di Tengah Kekhawatiran Pemilih tentang Usia Tuanya

Mengenai Trump, Raiden mengatakan meskipun ia bukan penggemar Trump secara pribadi, ia menyukai kebijakannya dan apa yang ia lakukan untuk negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu, dan bisa melihat dirinya pada akhirnya memilih Partai Republik, “hanya karena saya melihat kebijakannya."

Emily Horace, mahasiswa jurusan zoologi berusia 20 tahun, selalu menganggap dirinya independen secara politik, meski ia lebih condong bersikap liberal. Ia kecewa pilihannya dalam pemilu mendatang adalah dua pria tua kulit putih. Ia berharap ada “seseorang yang lebih muda” atau “orang kulit berwarna, atau perempuan” yang maju dalam pemilu mendatang.

Lily O'Korn-Hughes, mahasiswa Ohio State University, di Columbus, Ohio, 6 November 2023. (Foto: Megan Jelenger/AFP)

Masalah usia juga menjadi perhatian Lily O’Korn-Hughes, mahasiswi jurusan kimia berusia 18 tahun.

“Saya rasa saya tidak akan langsung menolak Biden mentah-mentah. Jika memang tidak ada kandidat lain dari Partai Demokrat, saya akan mempertimbangkannya. Tapi saya akui ia terlalu tua untuk mewakili rakyat dan demografi kami sekarang. Dia bukan orang yang saya inginkan. Ia seorang pria tua kulit putih yang sadar dirinya sudah tua… dia tahu kekurangannya, yang berarti itu hal bagus. Tapi akan berbeda rasanya kalau punya kandidat lain,” ungkap Lily.

Lily, yang mementingkan isu hak aborsi, pengendalian senjata api dan layanan kesehatan, mengaku baru mendalami posisi kebijakan masing-masing kandidat. Jika pilpres AS 2024 pada akhirnya kembali mempertemukan Biden dan Trump, ia mengatakan akan memilih Biden; meskipun ia masih berharap kandidat lain “akan muncul tanpa terduga.”

Antara Moral dan Kehormatan

Di antara para pemilih muda yang ditemui AFP di Ohio, Rachel Wade, mahasiswi pascasarjana bidang komunikasi berusia 27 tahun, menjadi salah satu yang paling siap memilih.

“Yang pasti saya sejalan dengan Partai Demokrat secara cukup konsisten,” kata Wade. “Saya akan memilih Biden. Bagi saya itu kurang lebih pilihan yang cukup jelas untuk tahun depan,” ujarnya. Ia menghargai Biden yang membela hak aborsi, mendukung serikat buruh dan sikapnya dalam isu perubahan iklim.

Rachel Wade, mahasiswa Ohio State University di Columbus, Ohio, 6 November 2023. (Foto: Megan Jelinger/AFP)

Sementara itu, Kate Koennecke, 20 tahun, terbuka pada kedua partai. “Jika seseorang seperti Trump yang dinominasikan (menjadi calon presiden), maka saya rasa saya akan memilih Biden lagi,” kata Koennecke, seorang mahasiswi ilmu politik.

Ia menganggap Trump tidak layak memimpin negara “dari sudut pandang moral.” Ia merujuk pada tindakan Trump saat peristiwa 6 Januari 2021, ketika para pendukungnya menyerbu gedung Kongres AS, dalam aksi kekerasan yang mematikan.

“Seorang presiden yang sangat konservatif memang mengkhawatirkan. Saya pikir jika presiden seperti Trump menjabat untuk kedua kalinya, akan sangat berbahaya bagi pemerintahan kita. Saya pikir dia pasti akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat otoriter dan mengambil kendali lebih besar daripada yang dimandatkan konstitusi,” kata Kate.

Your browser doesn’t support HTML5

Jelang Pemilu 2024, Suara Generasi Muda AS Terpecah

Akan tetapi, jika Partai Republik memilih kandidat lain “yang mungkin lebih moderat,” Kate mungkin akan mempertimbangkan memilih sosok tersebut.

Di sisi lain, Matthew Hartman, mahasiswa jurusan sistem informasi berusia 20 tahun, akan memilih Partai Republik tahun depan, meski Trump yang kembali menjadi capres. “Saya menghormati cara Biden bersikap,” kata Matthew.

“Tapi bagi saya, yang penting adalah langkah-langkah yang diambil. Meski saya ingin memiliki presiden yang terhormat, saya lebih ingin negara ini dipimpin layaknya sebuah perusahaan, agar kita terus menjadi negara terhebat di dunia,” pungkasnya. [br/ab]