Di Seoul hari Senin, Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida dan mitranya dari Korea Selatan Yun Byung-se mengumumkan bahwa mereka telah mencapai kesepakatan yang mencakup ganti-rugi uang dan permohonan maaf resmi dari Jepang.
“Isu perempuan penghibur adalah isu di mana banyak perempuan di bawah kekuasaan militer ketika itu menanggung luka yang dalam yang merenggut kehormatan dan martabat mereka, dan dari perspektif itu, pemerintah Jepang merasa bertanggungjawab,” kata Menlu Jepang Kishida dalam konferensi pers bersama.
Presiden Korea Selatan Park Geun-hye telah berulangkali menyerukan Perdana Menteri Jepang Abe untuk menyampaikan “permohonan maaf tulus” dan memberikan kompensasi kepada 46 “perempuan penghibur” Korea yang masih hidup yang kini berusia 80an dan 90an.
Diperkirakan lebih dari 200.000 perempuan di seluruh wilayah Pasifik dipaksa menjadi budak seks oleh militer Jepang semasa penjajahan Jepang di Asia dan semasa Perang Dunia II.
Abe telah mengeluarkan pernyataan menyesal di masa lampau mengenai penderitaan yang dialami oleh para “perempuan penghibur” itu tetapi tidak meminta maaf. Jepang tidak memberikan kompensasi karena merasa kewajiban-kewajibannya telah diselesaikan secara legal lewat piagam diplomatik 1965 yang menormalisasi hubungan antara Jepang dan Korea Selatan.
Sebuah pernyataan yang dirilis kedua negara dalam konferensi per situ termasuk pesan dari Abe.
Kishida mengatakan, “Sebagai Perdana Menteri Jepang, Abe menyatakan permohonan maaf yang paling tulus dan penyesalan kepada semua perempuan penghibur yang mengalami pengalaman tak terbayangkan dan menyakitkan serta menderita luka fisik dan psikologis yang tidak dapat disembuhkan.”
Kishida mengatakan Presiden Park dan Perdana Menteri Abe akan berbicara lewat telepon mengenai perjanjian itu.
Menteri luar negeri Jepang juga memastikan bahwa Jepang sepakat untuk membayar lebih dari 8 juta dolar untuk membantu perempuan penghibur itu. Dana itu akan disalurkan ke sebuah dana Korea Selatan yang mirip dengan inisiatif Jepang tahun 1997-2007 yang bernama Dana Perempuan Asia, yang dibentuk untuk memberikan bantuan kepada “perempuan penghibur.” Kishida mengatakan dana itu bukan kompensasi, melainkan sumbangan.
Pada bulan November, Presiden Park dan Perdana Menteri Abe mengadakan pertemuan bilateral pertama untuk membahas masalah itu secara langsung. Ketika itu, mereka berjanji untuk meraih kesepakatan sebelum akhir tahun ini, yang menandai 50 tahun dimulainya kembali hubungan diplomatik regional.
AS juga dilaporkan mendesak kedua sekutu pentingnya di Asia, Jepang dan Korea Selatan, untuk segera mengatasi isu pelik ini supaya bisa lebih baik menghadapi China yang semakin agresif dan Korea Utara yang bersenjata nuklir. [vm/al]