Jika AS Langgar Perjanjian, Iran Ancam Mulai Lagi Program Nuklirnya 

Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, di Konferensi Keamanan di Munich, 18 Februari 2018. (Foto: dok).

Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif mengatakan negaranya siap memulai kembali program nuklirnya apabila Presiden Amerika Donald Trump melanggar perjanjian nuklir 2015. Trump telah mengkritik perjanjian yang dicapai antara Iran dan enam negara lainnya, termasuk Amerika Serikat tersebut, dan menyatakan ia tidak akan mengukuhkan kepatuhan Iran terhadap syarat-syarat dalam perjanjian itu pada sebelum tenggat, 12 Mei mendatang, jika perjanjian itu tidak “diperbaiki.”

Presiden Perancis dan Kanselir Jerman memperingatkan bahwa suatu perjanjian yang tidak sempurna dengan Iran lebih baik daripada tidak ada perjanjian sama sekali. Berikut laporan wartawan VOA Zlatica Hoke selengkapnya.

Presiden Amerika Donald Trump telah bertekad akan mundur dari perjanjian nuklir tahun 2015 dengan Iran kecuali Amerika Serikat dapat bersepakat dengan Perancis, Jerman dan Inggris mengenai cara memperbaiki apa yang ia anggap sebagai cacat yang serius dalam perjanjian tersebut. Pemerintahan Trump hendak merundingkan kembali perjanjian penting itu agar mencakup pembatasan terhadap program rudal balistik Iran dan membendung pengaruh negara itu yang kian besar di Timur Tengah.

Iran telah mematuhi perjanjian yang berlaku sekarang ini dan menyatakan akan menanggapi apabila Amerika Serikat melanggarnya.

Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan, “Kami sendiri telah menyediakan sejumlah opsi, dan opsi-opsi tersebut telah siap, termasuk di antaranya pilihan yang akan mencakup dimulainya kembali aktivitas nuklir kami dengan laju yang jauh lebih cepat. Dan opsi-opsi itu tergambar di dalam perjanjian, siap untuk diterapkan. Kami juga akan mengambil keputusan yang diperlukan jika kami menganggapnya tepat.”

Sebagian dari penasihat terdekat Trump mendesakkan sikap keras terhadap Iran. Begitu pula sekutu-sekutu Amerika di Timur Tengah, yakni Israel, Arab Saudi dan beberapa negara di Teluk Persia. Akan tetapi Perancis, Inggris dan Jerman berpendapat bahwa perjanjian yang tidak sempurna dengan Teheran akan lebih baik daripada tidak ada perjanjian sama sekali.

Pendapat itu antara lain dikemukakan oleh Kanselir Jerman Angela Merkel dalam pernyataannya sebagai berikut.

Kanselir Jerman Angela Merkel di pertemuan kabinet mingguan pemerintah Jerman di Berlin, Rabu, 18 April 2018.

“Saya dapat memahami bahwa ada kekhawatiran besar di Israel terkait apa yang muncul dari Iran. Masalah yang tidak kita sepakati adalah bagaimana cara terbaik untuk menanggulangi ini? Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berpendapat bahwa perjanjian nuklir dengan Iran tidak memberikan keamanan sebagaimana yang diinginkan oleh Israel. Kami meyakini bahwa lebih baik memiliki perjanjian ini, meskipun ini tidak sempurna, daripada tidak sama sekali.”

Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan di stasiun televisi Channel 10 Israel bahwa rudal-rudal balistik Iran merupakan masalah serius dan bahwa Jerman, Perancis dan Inggris sedang membahas cara mencapai kemajuan tambahan dalam hal tersebut.

Presiden Perancis Emmanuel Macron (kanan) di Istana Elysee, Paris, 20 April 2018.

Menjelang lawatannya ke Washington, Presiden Perancis Emmanuel Macron juga mengakui bahwa perjanjian tersebut tidaklah sempurna. Akan tetapi ia mengatakan bahwa alternatifnya adalah situasi yang dihadapi mirip dengan situasi yang ditimbulkan oleh Korea Utara.

Perjanjian nuklir Iran adalah salah satu pencapaian utama pemerintahan Obama. Perjanjian ini melonggarkan sanksi-sanksi ekonomi Barat terhadap negara itu sebagai imbalan bagi dihentikannya program senjata nuklir Teheran. Trump telah menyebut perjanjian itu sebagai “kesepakatan terburuk yang pernah dicapai selama ini.” Jika ia tidak mengukuhkan kepatuhan Iran terhadap perjanjian itu hingga 12 Mei, Kongres Amerika akan memberlakukan kembali sanksi-sanksi terhadap Iran. Tetapi banyak pihak menentang langkah tersebut, yang akan membahayakan kedudukan Amerika sebagai mitra yang dapat diandalkan dalam berbagai perjanjian internasional. [uh/lt]