Presiden Joko Widodo menanggapi positif pernyataan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte yang mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Meski begitu, ia mengatakan, dirinya perlu mendiskusikan lebih lanjut dampak pernyataan perdana menteri tersebut.
"Ya bagus, tapi nanti kita lihat. Saya (perlu) masukan dulu dari Menteri Luar Negeri karena impact-nya kemana-mana," ungkap Jokowi di Pasar Menteng Pulo, Jakarta Selatan, Kamis (15/6).
Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di sela-sela debat penyelidikan Perang Kemerdekaan Indonesia, pada Rabu waktu setempat mengakui bahwa Kemerdekaan Indonesia jatuh pada 17 Agustus 1945. “Kami melihat proklamasi itu sebagai fakta sejarah," ungkap Rutte.
Dalam debat tersebut, atas desakan berbagai pihak yakni Partai Hijau, GroenLinks, Rutte sendiri disebut akan segera berdiskusi dengan Presiden Jokowi terkait hal ini seperti bagaimana merayakan hari Kemerdekaan pada 17 Agustus.
"Dalam beberapa tahun terakhir, Belanda selalu mengingat 17 Agustus 1945," tutur Rutte. "Misalnya, raja mengirimkan ucapan selamat ke Indonesia setiap tahun melalui telegram," tambahnya.
Moral Politik
Sejarawan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Sri Margana menilai pernyataan PM Belanda Mark Rutte yang mengakui kemerdekaan dalam forum debat bukanlah pernyataan resmi. Hal ini dikarenakan pernyataan tersebut keluar ketika Rutte menjawab pertanyaan dari salah satu anggota parlemen yang bertanya terkait hal tersebut.
Meski begitu, ia melihat, sebetulnya Belanda sendiri sudah sejak lama secara tidak langsung telah mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Hal ini tercermin dari tindakan baik dari Raja Belanda maupun PM Belanda yang selalu mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan kepada Indonesia setiap 17 Agustus.
“(Rutte) Dia sendiri mengatakan bahwa setiap tanggal 17 Agustus, selalu diundang ke Kedubes Indonesia di Belanda untuk merayakan bersama-sama, kemudian Raja Belanda setiap tanggal 17 Agustus juga selalu memberi ucapan hari kemerdekaan. Jadi, secara eksplisit sebetulnya walaupun bukan pernyataan resmi, semua jenis tindakan dan ucapan selamat dari pemimpin tertinggi negara itu menunjukkan bahwa sebetulnya sudah ada pengakuan,” ungkap Sri.
Apabila kelak ada pernyataan resmi dari pemerintah Belanda yang mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, katanya, akan ada konsekuensi yuridis yang cukup berat, di antaranya Belanda memang terbukti melakukan agresi kepada negara yang sudah merdeka.
Agresi tersebut, kata Sri, tentu menimbulkan kerugian seperti harta benda dan nyawa. Apalagi, di dalam penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Belanda terbukti bahwa dalam peperangan tersebut banyak korban sipil yang berjatuhan. Masyarakat atau korban, katanya, bisa saja menuntut ganti rugi, dan Belanda harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan setelah 17 Agustus 1945.
Namun yang menjadi masalah, kata Sri, kekerasan yang dilakukan Belanda dianggap sebagai bentuk kekerasan ekstrem, bukan kejahatan perang.
“Kalau itu kategorinya kejahatan perang maka sebetulnya bisa diajukan ke Mahkamah internasional. Jadi konsekuensinya sangat berat sehingga mereka hanya menggunakan istilah extreme violence. Kemudian, sebetulnya kalau yang saya tangkap tampaknya pengakuan itu lebih ke pengakuan politik moral tetapi tidak ada legal concequences selama tidak ada semacam pernyataan resmi. Jadi hanya moral politik saja kita mengakui demi hubungan diplomatik yang lebih baik ke depan dengan Indonesia dan juga untuk memenuhi tuntutan yang tidak terbantahkan dari riset ilmiah yang dilakukan oleh para sejarawan Belanda sendiri,” jelasnya.
Lebih jauh, ia melihat bahwa dampak dari pengakuan Belanda ini bisa membuat kedua negara saling menuntut ganti rugi atas apa yang terjadi di masa peperangan tersebut. karena sejarawan Belanda juga menemukan fakta bahwa tidak hanya ada kekerasan yang dilakukan Belanda kepada warga sipil Indonesia, namun juga sebaliknya.
“Artinya kalau konsekuensi yuridis ini diterapkan, baik Belanda maupun Indonesia itu bisa sama-sama melakukan tuntutan kalau mau. Artinya bisa menuntut ganti rugi dan sebagainya tidak hanya Indonesia, Belanda juga bisa karena beban sipil Belanda juga banyak. Jadi mungkin itu yang akan dibicarakan substansi, yang disebut Pak Jokowi 'ke mana-mana', antara lain itu,”katanya.
Maka dari itu, menurutnya kedua negara perlu menyikapi sejarah ini dengan lebih bijaksana untuk masa depan dan hubungan diplomatik yang lebih baik. Memperkuat kerja sama antar kedua negara dalam berbagai bidang, katanya, bisa menjadi langkah yang tepat.
“Kalau orang Indonesia menuntut nanti malah jadi rumit. Memang harus bijak bagaimana menyikapi masa lalu supaya tidak membebani hubungan kedua negara ke depannya. Mungkin itu bisa ditukar dengan kerja sama di bidang pendidikan, kebudayaan, riset teknologi, saling memberi bantuan, peluang, pertukaran pelajaran. Ituu menurut saya lebih bermanfaat daripada kita menuntut ganti rugi, tidak akan terlalu bermanfaat untuk bangsa ini,” tuturnya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah dan rakyat Indonesia patut bersyukur atas pengakuan PM Belanda Mark Rutte. Belanda tidak lagi bersikukuh bahwa Kemerdekaan Indonesia didasarkan pada penyerahan kedaulatan yang terjadi pada tanggal 27 Desember 1949.
Hikmahanto menuturkan, pengakuan resmi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh pemerintah Belanda memiliki tiga makna penting.
Pertama, katanya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia bukan pemberian dari Belanda melainkan atas perjuangan panjang bangsa Indonesia sendiri.
“Kedua, dengan diakuinya kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 serangan senjata yang dilancarkan oleh Belanda bukanlah tindakan kepolisian/polisionil untuk menumpas para pemberontak, melainkan agresi satu negara terhadap negara lain,” ungkapnya.
Ketiga, konsekuensi hukum tentu berbeda antara pemerintah Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Aguatus 1945 dengan pemerintah Belanda yang mengakui kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Namun demikian, untuk hal terakhir bisa jadi tidak terlalu dipermasalahkan antara kedua negara mengingat hubungan kedua negara selama ini. Ini juga bergantung dari pembicaraan PM Rutte dengan Presiden Jokowi yang akan dilakukan dalam waktu dekat,” pungkasnya. [gi/ab]