Perdana Menteri Belanda Mark Rutte Kamis lalu (17/2) menyampaikan permintaan maaf yang mendalam kepada Indonesia atas kekerasan berlebihan yang dilakukan tentara Belanda selama Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Permintaan maaf ini dilakukan setelah sebuah penelitian yang dilakukan oleh tiga lembaga di negaranya menyimpulkan bahwa tentara Belanda telah melakukan kekerasan yang berlebihan di Indonesia selama Perang Kemerdekaan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada VOA menjelaskan Kementerian Luar Negeri masih dalam proses mendalami laporan yang dikeluarkan oleh tiga lembaga penelitian di Belanda yang mengkaji isu proses kemerdekaan Indonesia pada 1945-1949 itu sehingga belum dapat menanggapi permintaan maaf Rutte.
Menurut Faizasyah, dalam konteks yang berbeda-beda, pemerintah Belanda sudah tiga kali menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia. Permintaan maaf yang terakhir disampaikan oleh Raja Belanda Willem-Alexander pada 2020 ketika memperingati 70 tahun hubungan diplomatik kedua negara.
"Saya belum bisa mengomentari langkah ke depan seperti apa karena yang pokok adalah kita ingin mengetahui dulu karena laporannya cukup banyak. Ada 12 buku yang dikeluarkan dengan fokus yang berbeda-beda dari masing-masing buku tersebut. Kita kan bukan ahli sejarah. Jadi perlu pemahaman yang lebih baik lagi sebelum bisa memberikan satu komentar apapun," kata Faizasyah.
Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan permintaan maaf pemerintah Belanda itu merupakan reaksi cepat setelah keluar hasil penelitian tiga lembaga di Belanda yang sebagian besar dibiayai oleh pemerintah Belanda.
Sebetulnya penelitian itu sudah diusulkan begitu lama dan baru disetujui pada 2016 dengan biaya penelitian dari pemerintah Belanda.
Hasil penelitian ini merupakan respon dari sebuah disertasi yang menyimpulkan terjadi kekerasan ekstrem yang dilakukan tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia selama 1945-1949.
Asvi menilai permintaan maaf oleh pemerintah Belanda itu memang sudah sepantasnya.
"(Permintaan maaf itu) sudah seyogyanya dilakukan dan itu dilakukan secara tidak menunggu lagi. Setelah mendengar hasil penelitian itu jadi dikeluarkan pernyataan minta maaf. Saya menganggapnya pernyataan yang mau mengakui kesalahan yang terjadi atau dilakukan pada masa lalu," ujar Asvi.
Menurut Asvi, ada peningkatan terkait hasil penelitian sekaligus pengakuan dari pemerintah belanda tersebut. Pada 1969, Belanda menyatakan tentara mereka bertindak sesuai prosedur, tapi terjadi tindakan individual yang berlebihan.
Beberapa tahun lalu sebuah disertasi menunjukkan terjadinya kekerasan ekstrem struktural yang dilakukan tentara Belanda pada Perang Kemerdekaan di Indonesia antara 1945-1949. Hasil disertasi itu ditanggapi melalui penelitian yang dilakukan oleh tiga lembaga penelitian.
Asvi menyoroti perbedaan pernyataan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dengan hasil penelitian tersebut. Dalam buku yang baru diterbitkan dari hasil penelitian ketiga lembaga tersebut disebutkan terjadi kekerasan oleh tentara Belanda bersifat struktural dan meluas tapi tidak sistematis. Sementara Rutte menyebut kekerasan ekstrem yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia selama 1945-1949 sistematis dan meluas.
Menurutnya, ada perbedaan antara sistematis dan struktural. Asvi mengatakan struktural itu kekerasan meluas dan terjadi pembiaran, sedangkan sistematis ada perintah resmi dari pimpinan tertinggi tentara Belanda untuk melakukan kekerasan.
Asvi menambahkan dampak hukum dari laporan tersebut tidak ada karena Belanda tidak memakai istilah kejahatan perang tapi kekerasan ekstrem. Efeknya terukur, yakni Belanda menganggap perlu mengakui kekerasan itu terjadi dan meminta maaf.
Mengenai kompensasi, Asvi menyebutkan pemerintah Belanda sudah memberikan kompensasi kepada korban per kasus seperti kasus pembantaian di Desa Rawa Gede dan kasus Westerling melalui proses pengadilan di Belanda.
Dia menekankan pemerintah Indonesia perlu belajar dari pemerintah Belanda bahwa kalau ada kesalahan pada masa lalu yang dilakukan maka negara sepantasnya meminta maaf. Karena dalam sejarah Indonesia banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara seperti pencabutan kewarganegaraan setelah pemberontakan partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, tetapi negara tidak melakukan apapun untuk membantu proses rekonsiliasi pada korban dan keluarga mereka.
Pada 2016, Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders juga meminta maaf atas pembantaian dilakukan pasukan belanda terhadap 400 penduduk sebuah desa di Indonesia pada 1947. [fw/em]