Presiden Joko Widodo kembali melakukan upaya “bersih-bersih” di dalam pengelolaan perusahaan pelat merah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pekan lalu, 8 Juni, presiden menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2022 yang merupakan perubahan atas PP nomor 45 tahun 2005 tentang pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran BUMN.
PP baru tersebut mengatur tentang berbagai hal seperti syarat untuk bisa menjadi anggota direksi dan komisaris BUMN sampai melimpahkan tanggung jawab kepada komisaris apabila suatu perusahaan BUMN mengalami kerugian.
Beberapa ketentuan baru yang diatur dalam PP tersebut di antaranya melarang anggota direksi BUMN mempunyai jabatan politis. Larangan tersebut merupakan perubahan dari Pasal 22 Ayat 1 PP sebelumnya.
“Anggota Direksi dilarang menjadi pengurus partai politik dan/ atau calon/ anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah dan/atau kepala/wakil kepala daerah,” bunyi PP tersebut. Ayat 2 dari PP tersebut menyatakan bahwa larangan ini akan dituangkan atau diatur lebih lanjut ke dalam Peraturan Menteri (Permen).
PP nomor 23 tahun 2022 ini juga mengatur seluruh komisaris BUMN wajib bertanggung jawab apabila perusahaan pelat merah yang mereka kelola mengalami kerugian. Hal ini tercantum dalam pasal 59 ayat 2.
“Komisaris dan Dewan Pengawas bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian BUMN apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),” demikian bunyi aturan tersebut.
Meski begitu, dalam PP tersebut disebutkan bahwa Anggota Komisaris dan Dewan Pengawas tidak perlu bertanggung jawab atas kerugian perusahaan BUMN yang dikelolanya apabila terbukti telah melakukan pengawasan dan itikad baik serta kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan/Perum sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan/Perum. Kemudian, tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik secara langsung maupun tidak langsung, atas tindakan pengurusan direksi yang mengalami kerugian, dan telah memberikan nasihat kepada direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Dalam Pasal 27 ayat 3, disebutkan bahwa Menteri BUMN diizinkan menggugat direksi BUMN ke pengadilan, jika terbukti ikut andil dalam meruginya perusahaan pelat merah tersebut. “Atas nama Perum, Menteri dapat mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap anggota Dewan Pengawas yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perum,” bunyi pasal tersebut.
Impelentasi dan Pengawasan
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengungkapkan pada dasarnya aturan yang dibuat oleh Jokowi cukup baik agar semua perusahaan BUMN lebih profesional. Namun sayang, implementasi dan pengawasan di lapangan tidak berjalan dengan baik, sehingga ia melihat bahwa PP tersebut tidak akan efektif.
Ia mencontohkan, masih banyak orang dari kalangan partai politik koalisi pemerintah yang menjabat sebagai komisaris di berbagai perusahaan BUMN. Menurutnya, ini bisa dicegah apabila Menteri BUMN sendiri secara tegas menjalankan aturan tersebut.
“Jadi yang mengawasi itu tidak ada sama sekali. Jadi, mereka ya masuk-masuk saja, dan itu rekomendasi dari partai. Bargaining position dari Menteri BUMN sendiri lemah kalau dihadapkan pada situasi itu, karena sistem kita kan presidensial multi partai masalahnya. Artinya seorang presiden didukung oleh banyak partai. Karena banyak parpol itu ya mau tidak mau parpol ini harus diakomodasi untuk duduk di pemerintahan, salah satunya ya duduk di BUMN itu,” ungkap Trubus kepada VOA.
Peraturan yang mewajibkan komisaris untuk bertanggung jawab apabila perusahaan yang dikelolanya merugi, menurut Trubus, juga sulit untuk dilaksanakan. Pasalnya, permasalahan atau kerugian yang dialami oleh perusahaan BUMN tersebut umumnya sudah berlangsung cukup lama.
Your browser doesn’t support HTML5
“Lalu bagaimana law enforcement-nya di lapangan? Misalnya direksi mengklaim sudah bekerja optimal, dan tidak tahu di situ ada kerugian, itu kan bisa dengan mudah mereka ngeles-nya, bisa saja mereka bilang meskipun ada kerugian di era kepemimpinan suatu direksi atau BUMN, mereka pasti akan bilang melanjutkan dari sebelumnya, terus bagaimana mau law enforcement-nya?,” tuturnya.
Lebih jauh, Trubus menyarankan adanya lembaga untuk pengawasan dan penegakan hukum di lapangan, karena jika tidak, aksi “bersih-bersih” perusahaan pelat merah ini tidak akan optimal.
“Harusnya ada satu badan yang mengawasi, karena kalau mengandalkan aparat penegak hukum ya tidak bisa. Misalnya Kepolisian, KPK atau Kejaksaan Agung sepertinya tidak mungkin, karena mereka dengan tupoksinya masing-masing sudah berat. Jadi mesti ada lembaga baru yang berfungsi untuk mengawasi BUMN dan BUMD sekalian. Agar BUMD juga tidah dijadikan sapi perah bagi pejabat atau kepala daerah,” pungkasnya. [gi/ka]