Jokowi dan Komunikasi Politik Generasi Milenial

  • Nurhadi Sucahyo

Para remaja dalam konser musik untuk mendukung Joko Widodo dalam pemilihan presiden, Jakarta, 25 Juni 2014. (Foto: dok).

Pada pemilu 2019, diperkirakan ada 196,5 juta orang yang berhak memberikan suara. Dari jumlah itu, 100 juta diantaranya adalah pemilih muda berusia 17-35 tahun. Partai politik dan politisi berlomba menggaet kelompok ini.

Pada 8 April 2018 lalu, Presiden Jokowi tampil beda di Sukabumi, Jawa Barat. Mengendarai sepeda motor chopper, Jokowi mengenakan celana dan jaket jin. Pada bagian depan jaket itu tergambar peta wilayah Indonesia berwarna merah putih, sementara pada bagian belakang bertuliskan kata Indonesia dalam ukuran besar.

Banyak warga internet (warganet) – atau mereka yang aktif di dunia maya --mengidentikkan gaya berpakaian Jokowi itu dengan gaya Dilan, tokoh dalam novel dan film yang kini sangat popular di kalangan anak muda Indonesia. Tentu saja, penampilan Jokowi itu bukan sesuatu yang kebetulan, melainkan telah direncanakan sedemikian rupa. Tahun depan, dia akan menghadapi Pemilu yang mayoritas pemilihnya adalah kaum muda.

Dosen Program Studi Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Andika Indrayana menilai, Jokowi sedang membangun keterikatan dengan pemilih. Salah satu kunci dalam pola komunikasi ini adalah ketika seorang politisi tampil dan melakukan apa yang umum dilakukan para pemilihnya.

Andika menilai, pola ini penting dipakai dalam politik Indonesia ke depan, karena pemilih muda memiliki budaya visual yang berbeda.

“Sekarang ini masyarakat sudah masuk dalam budaya visual berbeda yang baru, lebih cerdas mencerna visual. Tokoh politik juga harus bisa menyesuaikan dengan budaya visual masyarakat jaman sekarang,” kata Andika.

“Tidak lagi dengan model kampanye jaman dulu yang lebih ke pencitraan tetapi tidak menarik, tidak persuasif, cenderung homogen. Mereka harus punya ciri khas sendiri dan menyesuaikan konsep visualnya dengan cara pandang jaman sekarang,” kata Andika menambahkan.

Andika Indrayana, Dosen di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. (Foto:Koleksi Pribadi)

Karena itu, bukan jamannya lagi bagi politisi yang merasa cukup memasang poster wajahnya dengan pakaian jas, dasi dan peci. Apalagi, kata Andika, pemakaian peci sering dipilih untuk menguatkan religiositas. Konsep itu sudah sama sekali tidak sesuai dengan perkembangan zaman, meski tetap akan ada sebagian politisi yang memilihnya. Tokoh seperti ini, kata Andika, biasanya tiba-tiba saja muncul tanpa diketahui rekam jejaknya oleh pemilih.

Media sosial, kata Andika, yang pernah meneliti desain komunikasi selama Pilkada Jakarta lalu, memiliki peran besar saat ini. Andika menyarankan partai politik maupun politisi membangun rekam jejak melalui media sosial. Caranya adalah dengan merekam dan membagikan seluruh aktivitas sejak saat ini. Melalui media sosial, tokoh membangun keterikatan dengan pemilih. Jokowi, tambah Andika, kini sedang menggunakan strategi baru dan berbeda itu.

Baca: Politisi Muda di Tengah Pragmatisme Politik di 2019

“Pada gilirannya nanti, Jokowi tidak perlu pasang jargon “pilihlah saya”. Dia cukup menunjukkan kembali semua yang sudah dilakukan dan diviralkan melalui media sosial. Jokowi lebih terlihat dengan komunikasi visualnya. Prabowo sepertinya akan memakai pola yang lama, dengan personal branding dan janji-janji,” kata Andika menambahkan.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) nampaknya punya kesadaran relatif sama dengan Jokowi dalam membangun komunikasi kepada pemilih muda.

Serangkaian kampanye, baik melalui internet, media cetak maupun media luar ruang didesain khusus untuk kalangan muda. Konsep itu dipaparkan Idy Muzayyad, Wakil Direktur Lajnah Pemenangan Pemilu, DPP PPP kepada VOA.

Sebagai partai, kata Idy, PPP diuntungkan oleh posisi Romahurmuziy yang merupakan Ketua Umum Partai di Parlemen termuda. Figur Romi, panggilan akrab Romahurmuziy, mudah didekatkan dengan anak muda. Dalam iklan video di internet dan media luar ruang yang gencar dilakukan, Romi tampil bercelana jeans, dengan kemeja yang lengannya dilipat dan sorban terbalut di lehernya -- jauh dari gambaran laki-laki berjas hitam, dasi dan peci yang sebelumnya melekat sebagai gambaran religiositas.

“Itu kombinasi dari inisiatif kita dengan konsultan professional. Tetapi ide dasar dari kami di Lajnah Pemenangan Pemilu PPP, dan kemudian disesuaikan dengan pertimbangan profesional,” kata Idy.

“Kami mengacu ke survei terbaru dari lembaga survey Median yang menyampaikan bahwa PPP mengalami penetrasi signifikan termasuk di kalangan pemilih milenial ketika ketua umum kita lebih sering tampil di media, baik media sosial maupun elektronik,” ujar Idy.

Idy Muzayyad, Wakil Direktur Lajnah Pemenangan Pemilu, DPP PPP. (Foto: koleksi Pribadi)

Tentu saja, bukan persoalan mudah bagi sebuah partai untuk menyesuaikan diri agar menjadi pilihan anak muda. Apalagi, banyak pengurus partai berusia tua, dan memiliki pola pikir lama. Menurut Idy, konsep baru ini selalu disosialisasikan melalui acara internal partai dan pelatihan-pelatihan. Upaya ini menandakan bahwa PPP memandang penting usaha merebut suara pemilih muda dalam Pemilu 2019.

“PPP ini realitasnya lahir di zaman old, tetapi kita menyesuikan diri dengan perkembangan di zaman now. Sehingga itu harus direpresentasikan dalam PPP muda yang tergambar dalam tokoh-tokohnya. Serta program yang menyasar dan melibatkan segmen muda,” ujar Idy.

Idy menambahkan, Pemilu 2019 adalah sebuah pertaruhan bagi partainya, dan mereka harus memperoleh hasil positif dalam pertaruhan itu.

Kaitan yang erat antara pemilih muda dengan internet, menjadikan media baru ini punya pengaruh besar dalam proses politik.

Sebuah penelitian dari UGM dalam Pilkada Jakarta menjawab hal itu. Dalam penelitian berjudul “Digital Native dalam Pemilu di Indonesia: DKI Jakarta” terungkap data, bahwa 90 persen responden mengaku media sosial berpengaruh dalam menentukan kandidat mana yang akan mereka pilih. Penelitian ini juga menyimpulkan, bahwa perang gagasan serta kreativitas di media sosial menentukan hasil keseluruhan dari persaingan politik.

Dalam diskusi Big Data dan Politik Elektoral di Indonesia di UGM pada Jumat (13/4) lalu, Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator mengatakan, big data akan berpengaruh besar pada Pemilu 2019 nanti. Big data di antaranya dikumpulkan dari perbincangan melalui internet, baik itu media sosial maupun situs berita resmi. Dalam lingkup politik, big data memungkinkan partai politik maupun politisi memahami apa yang menjadi perbincangan publik.

Big data adalah istilah yang menggambarkan volume data yang besar, baik data yang terstruktur maupun data yang tidak terstruktur. Big data telah digunakan dalam banyak bisnis. Big data dapat dianalisis untuk wawasan yang mengarah pada pengambilan keputusan dan strategi bisnis yang lebih baik.

Your browser doesn’t support HTML5

Jokowi dan Komunikasi Visual Politik Generasi Milenial

Lebih jauh Rustika mengatakan untuk kepentingan politik, partai maupun politisi harus peduli bagaimana pemilih membincangkan mereka di internet. Harus diketahui apakah perbincangan itu bernada positif atau negatif.

Belajar dari kasus Pilkada Jakarta, Rustika mencontohkan, Ahok memiliki popularitas tinggi, tetapi sekaligus sentimen negatif paling tinggi juga. Gambaran itu akhirnya terlihat dalam hasil Pilkada.

“Orang yang paling populer di media itu berpotensi memenangkan Pemilihan Kepala Daerah. Penelitian kita tahun 2012, itu 9 dari 10 Pemilihan Gubernur di Indonesia mengikuti pola tertentu. Tahun 2013, itu dari 13 Pilkada, ada 11 yang mengikuti pola. Dalam Pilkada Jakarta malah 100 persen mengikuti pola. Jadi, teknologi itu bisa memberitahu kita, siapa paling populer, siapa yang sentimen negatifnya paling tinggi, siapa yang mengambil panggung,” kata Rustika. [ns/ab]