Presiden Joko Widodo hari Senin (6/6) menerima Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHK LKPP) tahun 2015 dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam laporan lisan yang disampaikan kepada Presiden, Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengatakan ada 56 kementerian/lembaga negara yang memperoleh “rapor” atau opini “Wajar Tanpa Pengecualian” atau WTP, 26 kementerian/lembaga negara disebut “Wajar Dengan Pengecualian” atau WDP, dan 4 kementerian/lembaga negara mendapat predikat “Tidak Memberikan Pendapat” atau TMP, atau dikenal sebagai “disclaimer”.
“Tahun yang lalu kalau saya tidak keliru, yang disclaimer ada 7, sekarang ada 4,” ungkap Jokowi.
Ada 4 Kementerian/Lembaga Negara dengan opini “Disclaimer”
Presiden Joko Widodo tampak tidak bisa menyembunyikan kekesalannya melihat masih ada laporan keuangan dengan opini “disclaimer” itu.
“Tahun yang lalu saya sebutkan, kementerian dan lembaga mana. Tahun ini saya sebutkan lagi?! Coba diingat-ingat supaya tahun depan tidak disclaimer lagi. Yang pertama, Kementerian Sosial. Yang kedua, Kementerian Olah Raga. Yang ketiga, TVRI. Yang keempat, Komnas HAM. Nah yang lain-lain tidak perlu tegang lagi. Ini perlu menjadi catatan kita," ujar Jokowi.
Dalam bidang pengawasan keuangan, istilah “disclaimer opinion” disampaikan jika seorang auditor sama sekali tidak menyatakan pendapatnya terhadap laporan keuangan dari lembaga yang diperiksanya karena berbagai faktor.
Misalnya, ada sejumlah bagian laporan yang akurasinya diragukan atau dianggap bermasalah. Ketua BPK Harry Azhar Aziz tidak menjelaskan secara terbuka mengapa keempat kementerian/lembaga negara itu mendapat rapor ‘’disclaimer’’.
Namun menanggapi hal itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan seluruh aparatnya menjadikan laporan keuangan itu sebagai momentum untuk melakukan pembenahan dan pekerjaan rumah untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan negara.
"Saya mengajak seluruh kementerian dan lembaga non kementerian untuk memperbaiki dan membenahi tata kelola keuangan yang transparan, mempertanggungjawabkan uang rakyat dengan sebaik-baiknya. Dan saya tegaskan… jangan ada yang bermain-main dengan uang rakyat’’.
Untuk pertama kali LHK LKPP gunakan standar 'Akuntansi Berbasis Akrual'
Sebelumnya, Ketua BPK Harry Azhar Aziz ketika menyampaikan laporannya juga mengatakan bahwa untuk pertama kali LHK LKPP ini disusun berdasarkan standar akuntansi berbasis akrual.
“Tahun 2015 merupakan tahun pertama kali penerapan standar akuntansi pemerintah berbasis akrual dalam laporan keuangan pemerintah pusat. BPK dan pemerintah sesuai tugas dan tanggungjawab masing-masing telah berupaya mendukung penerapan standar baru ini sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan,” papar Harry Azhar.
Basis akrual dalam akuntansi memberi hasil yang lebih baik karena bisa memberi usul pembuatan keputusan dan konsekuensi jangka panjang dari suatu kebijakan pemerintah.
Laporan hasil pemeriksaan BPK sampaikan 6 Masalah
Dalam laporan ini BPK juga menyampaikan enam masalah yang merupakan gabungan dari ketidaksesuaian standar akuntasi pemerintahan dengan kelemahan sistem pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.
Antara lain, soal data Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara PMN per 31 Desember 2015 sebesar 1.800,93 triliun rupiah, di mana 848,38 triliun rupiah merupakan PMN PT. PLN. Dalam laporan keuangan PLN, ada perubahan kebijakan akuntansi dari menerapkan sistem ISAK-8 menjadi tidak menerapkannya lagi. Padahal Otoritas Jasa Keuangan OJK tetap mewajibkan PLN menerapkan ISAK-8 sebagai standar akuntansi keuangan. Hal ini membuat BPK tidak bisa menentukan perlu tidaknya penyesuaian terhadap angka itu.
Atau soal harga jual eceran minyak solar bersubsidi yang lebih tinggi dari harga dasar dan pajak yang dikurangi subsidi tetap. BPK menilai hal ini membebani konsumen dan menambah keuangan badan usaha hingga lebih dari 3,19 triliun rupiah, yang hingga kini status dana tersebut belum ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam laporan itu BPK berharap pemerintah memperhatikan keenam masalah tersebut dan segera melakukan perbaikan. [em/ii]