Jokowi: Kegagalan Gencatan Senjata di Ukraina Bisa Perparah Krisis Kemanusiaan

Orang-orang berjuang untuk naik kereta api ke Lviv di stasiun Kyiv, Ukraina, sambil menggendong anak-anak mereka, Senin, 7 Maret 2022. Rusia membuka beberapa koridor kemanusiaan untuk memungkinkan warga sipil melarikan diri dari Ukraina. (Foto AP/Emilio Morenatti)

Presiden Joko Widodo kembali angkat bicara mengenai konflik Rusia-Ukraina. Tanpa menyebut Rusia, ia menyatakan keprihatian terkait gagalnya kesepatakan gencatan senjata di Ukraina.

“Gagalnya kesepakatan gencatan senjata di Ukraina bukan hanya mendorong eskalasi konfilik bersenjata, tetapi semakin bertambahnya korban jiwa dan krisis kemanusiaan di Ukraina,” ungkap Jokowi dalam akun twitternya @Jokowi, Selasa (7/3).

Ia menegaskan perang hanyalah persoalan ego. Perang, menurutnya, kerap melupakan sisi kemanusiaan, dan cenderung menonjolkan kepentingan dan kekuasaan.

Jokowi mengatakan, berdasarkan data UNHCR, setidaknya sudah 1,2 juta orang di Ukraina harus mengungsi ke negara lain.. Jika keadaan ini terus dibiarkan terjadi, katanya, situasi di dunia akan semakin parah.

“Apabila krisis terus berlanjut niscaya akan terjadi krisis pengungsi terbesar sepanjang abad. Inilah yang harus kita sama-sama cegah agar jangan sampai terjadi,” jelasnya.

Indonesia Bisa Berperan Menjadi Mediator Rusia-Ukraina

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mengatakan maksud daripada cuitan Jokowi, terkait kemungkinan memburuknya krisis dan bertambahnya korban apabila perang itu tidak segera berhenti.

Namun, pernyataan Jokowi yang menyebutkan bahwa perang adalah hanya ego semata, diyakini merujuk pada Rusia, Ukraina dan NATO, dan bukan kepada individu tertentu. Reza menjelaskan, Jokowi menginginkan ketiga pihak tersebut senantiasa menahan diri agar krisis tidak berlanjut.

Dr. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional (foto: courtesy).

“Mungkin yang dimaksud beliau ego itu adalah ego negara, bukan ego individu, kalau ego negara masih bisa dimengerti. Karena kalau ego negara itu maksudnya Rusia ingin mempertahankan kepemimpinan kolektif di bekas Uni Soviet, terus kalau Ukraina egonya adalah keinginan untuk bisa masuk NATO, masuk Uni Eropa tapi tidak bisa. Kalau maksudnya itu jelas,” ungkapnya kepada VOA.

Lebih jauh, Reza menjelaskan bahwa sebenarnya Indonesia bisa menjadi penentu perdamaian bagi konflik Rusia-Ukraina. Menurutnya, Jokowi bisa saja terbang ke Ukraina ataupun Rusia dengan membawa ide Treaty of Amitty and Cooperation yang diterapkan di ASEAN. Ia yakin, dengan cara itu, konflik tersebut diyakini bisa segera berakhir.

“(Indonesia) Bisa menjadi penentu bagi perdamaian abadi Ukraina-Rusia dan NATO. Jadi Ukraina mengatakan saya menarik diri dari permintaan menjadi anggota NATO dan Uni Eropa, dan saya juga yakin Rusia akan menjamin kemerdekaan dan kedaulatan saya, dan untuk itu dia membikin suatu Treaty of Amity and Cooperation persis seperti yang dibuat oleh seluruh anggota ASEAN, saling menghargai territorial, tidak menganggu stabilitas dan tidak ikut campur urusan dalam negeri. Jadi Pak Jokowi terbang ke Rusia atau Ukraina dengan membawa ide ASEAN, nanti dengan didukung GNB dan OKI sudah selesai,” pungkasnya.

Bukan Hanya Sekedar Pernyataan di Sosial Media

Pemerhati dan Pengajar hubungan Internasional Dinna Prapto Raharja mengatakan, pernyataan Jokowi terkait konflik Rusia-Ukraina di media sosial tentunya untuk mendorong ke arah perdamaian. Namun, Dinna menggarisbawahi yang dibutuhkan saat ini untuk meredakan konflik adalah harus lebih dari sekedar pernyataan. Apalagi, konflik ini bukanlah konflik biasa, melainka m konflik yang melibatkan kekuatan negara besar.

Mantan Utusan Indonesia uUntuk Komisi HAM ASEAN Dinna Prapto Raharja. (Foto: Dinna)

Menurutnya, ada dua hal yang bisa dilakukan Indonesia untuk bisa ikut berperan meredam konflik tersebut. Pertama, katanya Indonesia bisa berbicara kepada pihak Ukraina dalam tataran diplomatis untuk senantiasa menciptakan suasana yang kondusif untuk meredakan konflik di sana.

“Artinya tidak perlu ada statement dari pimpinan negara Ukraina yang justru menghambat terjadinya komunikasi yang berjalan. Kalau dilihat sekarang kedua belah pihak baik Ukraina maupun Rusia sama-sama terus saling balas di media sosial,” ungkap Dinna kepada VOA.

Kedua, Indonesia yang saat ini memegang Presidensi G20, dan akan menjadi Ketua ASEAN pada 2023 mendatang, dapat memobilisasi kesadaran negara-negara di dunia terutama negara-negara anggota G20, ASEAN, dan Gerakan Non Blok bahwa ini merupakan major power conflict. Jadi menurutnya, Indonesia tidak bisa berperan sendiri dalam menciptakan perdamaian antara Rusia dan Ukraina.

Your browser doesn’t support HTML5

Jokowi: Kegagalan Gencatan Senjata di Ukraina Bisa Perparah Krisis Kemanusiaan

“Kalau kita niat, kita tidak bisa maju sendiri, karena situasinya kita berhadapan dengan Amerika Serikat, Eropa, belum lagi sekutu-sekutunya Amerika, plus Rusia yang juga punya pendukungnya sendiri, kalau kita berhadapan sendirian di tengah-tengah, sepertinya justru terlalu berat bebannya buat kita. Jadi lebih makes sense kita memobilisasi dukungan dari yang lain, jadi we are not speaking on behalf on ourself, tetapi kepentingan banyak negara,” tambahnya.

“Jadi dalam situasi sekarang ini, cuma satu yang bisa kita lakukan. Kita tidak mau terpaksa berada di kubu satu dan yang lainnya bukan karena kita tidak punya posisi, tapi justru karena kita tahu persis berpihak itu justru meninggikan ketegangan dan menciptakan polarisasi berkepanjangan yang membahayakan semua pihak,” pungkasnya. [gi/ab]