Pernyataan Jokowi tersebut disampaikan ketika sedang meninjau penanaman tebu perdana oleh PT Global Papua Abadi, di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, Selasa, (23/7).
Ia menjelaskan, kegiatan ini merupakan bagian dari langkah strategis untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan global yang dipicu oleh perubahan iklim yang cukup ekstrem.
“Kita tahu dunia sekarang sedang krisis pangan karena perubahan iklim, panas yang panjang, kering yang panjang dan kemandirian serta ketahanan pangan, kedaulatan pangan harus menjadi konsentrasi. Dan pemerintah Pak Prabowo sudah menyampaikan bahwa beliau akan berkonsentrasi di pangan dan energi,” ungkap Jokowi.
Pemerintah, kata Jokowi di wilayah Merauke sudah dua kali mencoba untuk melakukan berbagai macam penanaman untuk mendongkrak sektor pertanian tanah air, namun tidak berhasil. Meski begitu, ia yakin dengan program yang dijalankan saat ini dengan basis scientific yang baik akan berhasil.
“Kalau melihat lapangannya, di sini lapangannya datar, air juga melimpah. Saya kira memang kesempatan untuk menjadikan Indonesia lumbung pangan di Merauke dan sekitar baik itu padi, jagung maupun tebu. Tebu dan jagung nanti bisa dipakai untuk gula pasir maupun bioetanol,” jelasnya.
Ia juga mengapresiasi upaya perusahaan dalam merawat lingkungan secara berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan membuat persemaian yang memproduksi bibit maupun tanaman endemik Papua untuk merehabilitasi hutan-hutan yang ada.
Banyak Perbaikan yang Harus Dilakukan
Pengamat Pangan Dwi Andreas Santosa mengungkapkan, jika sektor pangan yang dalam hal ini berkaitan erat dengan sektor pertanian ingin berhasil, maka Prabowo harus memilih seorang Menteri Pertanian layaknya memilih Menteri Keuangan. Dwi menjelaskan selama ini sosok Menteri Keuangan selalu dipilih Jokowi berdasarkan kemampuan yang dimilikinya, bukan sekedar bagi-bagi jabatan atau bagi-bagi kue kekuasaan.
Sayangnya, kata Dwi selama 10 tahun terakhir sosok Menteri Pertanian selalu diisi oleh sosok yang tidak mumpuni, alias hanya bagi-bagi jabatan semata. Hasilnya, kata Dwi cukup berakibat fatal terhadap pembangunan di sektor pertanian selama 10 tahun terakhir. Ia mencontohkan, produksi padi selama Jokowi menjabat turun 1,04 persen per tahun. Sehingga Indonesia, katanya harus mengimpor beras terbesar selama 25 tahun terakhir yakni 3,06 juta ton pada tahun lalu.
“Neraca perdagangan kita bagaimana? Impor pangan kita selama 10 tahun melonjak dari USD10,1 miliar ke USD18,6 miliar. Yang menghasilkan defisit neraca perdagangan kita dari USD8,9 miliar ke USD16,3 miliar. Bisa dibayangkan itu kenyataannya. Padahal janjinya sebelumnya juga sama ini sektor pangan teramat penting,” ungkap Dwi ketika berbincang dengan VOA.
“Angkat menteri pertanian yang betul-betul professional, tahu betul memiliki pengetahuan yang memadai terkait bagaimana memajukkan sektor pertanian di Indonesia. Itu yang teramat penting, professional, tidak terikat, tidak terafiliasi dengan siapapun sehingga betul-betul dia berpikir untuk pembangunan pertanian yang sesungguhnya. Tapi kalau bagi-bagi kue lagi ya sudah, selesailah. Dan itu kisah 10 tahun terakhir akan terulang lagi, malah semakin buruk,” tambahnya.
Menurutnya, Indonesia di masa lalu sempat mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 dengan posisi menteri pertanian Profesor Sudarsono dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang memang mumpuni di sektor pertanian. Sehingga, beliau katanya memahami kebijakan apa yang harus dilakukan untuk memajukkan sektor pertanian tanah air, bukan hanya sekedar kebijakan yang bersifat retorika dan wacana semata.
“Tiba-tiba keluar ide, kita akan membangun food estate satu juta hektare per tahun. 25 tahun terakhir saja program itu tidak ada wujudnya. Bahkan yang tahun 2015 mau membangun food estate 1,25 juta hektare terwujudnya apa? Gagal total kan. Terus tiba-tiba keluar ide, dalam lima tahun ke depan, tiap tahun akan bangun sawah, ini logikanya bagaimana? Sehingga kehilangan rasionalitas akademis dalam program-program seperti itu. Jadi banyak program-program yang hanya sekedar wacana, retorika yang tidak ada hasilnya. Mau itu yang yang kita teruskan? Ya monggo tidak ada masalah,” tegasnya.
Sementara itu, Pengamat Energi Fabby Tumiwa mengungkapkan ada beberapa hal penting yang harus dilakukan Prabowo-Gibran dalam meningkatkan ketahanan energi.
Pertama katanya, melakukan transisi energi yang berkeadilan dalam artian mendorong pemanfaatan energi terbarukan agar kelak bisa menggantikan energi fosil. Hal ini, katanya cukup mendesak karena 87 persen penggunaan energi di Indonesia masih dipasok dari energi fosil. Selain itu, Indonesia juga katanya masih mengimpor 60 persen BBM untuk kebutuhan di dalam negeri.
“Energi fosil itu menyebabkan kenaikan emisi gas rumah kaca, berkontribusi pada kenaikan emisi gas rumah kaca global yang berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim. Ada krisis iklim yang terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia, makanya ada El-Nino yang panjang yang menyebabkan gagal panen dan sebagainya. Dan Indonesia merupakan negara nomor lima penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Jadi tidak bisa dipungkiri Indonesia harus bertanggung jawab, dengan cara pengurangan penggunaan energi fosil dengan cepat,” ungkap Fabby.
Permasalahan energi lain yang harus segera diselesaikan Prabowo menurut Fabby adalah subsidi energi yang tidak bisa diselesaikan oleh Jokowi bahkan cenderung semakin besar. Berdasarkan catatannya, subsidi dan kompensasi untuk energi fossil ini mencapai hampir 15 persen dari APBN. Hal ini menjadikan adanya fiskal yang cukup ketat, sehingga menghambat program penting lainnya seperti pengentasan kemiskinan dan meningkatkan indeks pembangunan manusia di tanah air, penciptaan lapangan kerja dan lain-lain.
“Alokasi anggaran untuk tadi termakan oleh subsidi. Jadi menurut saya pemerintah ke depan harus bisa mengatasi subsidi, artinya bukan mencabut subsidi tetapi mereformasi subsidi sehingga subsidi itu hanya diberikan kepada mereka yang layak menerima subsidi dan juga harapan saya subsidinya untuk pengembangan energi terbarukan, bukan untuk energi kotor,” jelasnya.
Prabowo, juga diharapkan bisa memastikan akses energi yang terjangkau dan berkelanjutan di seluruh pelosok Indonesia. Jokowi, kata Fabby sebelumnya menargetkan elektrifikasi mencapai 100 persen di seluruh Indonesia pada 2019, namun mundur hingga 2024. Ia tidak yakin target ini akan terpenuhi hingga akhir tahun 2024 ini. Maka dari itu, Prabowo harus bisa menjamin kualitas akses ke energi yang berkelanjutan dan merata dari Sabang sampai Merauke. Dengan begitu, selain listrik ini bisa menunjang kehidupan sehari-hari masyarakat, dan juga bisa digunakan untuk aktivitas yang lebih produktif sehingga perekonomian daerah bisa terdongkrak dengan baik.
“Ini yang menjadi kendala, karena kalau saya lihat sampai hari ini, daerah terpencil, desa-desa itu karena pasokannya listriknya tidak 24 jam, sehingga masyarakat terkendala untuk memanfaatkannya untuk kegiatan produktif. Padahal ini penting kalau kita ingin mendorong peningkatan ekonomi masyarakat terutama daerah 3 T, tertinggal, terpencil dan terdepan,” pungkasnya. [gi/jm]