Subsidi BBM menjadi salah satu topik pembahasan penting dalam pertemuan antara Presiden SBY dan Presiden terpilih Joko Widodo di Nusa Dua Bali Rabu (27/8). Dalam pertemuan ini, Jokowi meminta Presiden SBY menekan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan mengubah pola masyarakat yang konsumtif menjadi produktif. Menurut Jokowi, kenaikan harga BBM penting dilakukan saat ini untuk menekan defisit APBN.
Untuk itu setelah dilantik sebagai Presiden Oktober nanti, Jokowi Jum’at (29/8) menyatakan siap mengambil kebijakan yang tidak populer demi mengalihkan subsidi ke usaha produktif.
Your browser doesn’t support HTML5
"Saya siap untuk tidak populer. Tetapi kita harus tahu ya, bahwa kalau kita memotong subsidi, subsidi itu harus dialihkan kepada usaha-usaha produktif. Di kampung, di desa, kepada UMKM, untuk pupuk benih pestisida kaum petani, untuk solar dan mesin kapal nelayan," ujarnya.
Jokowi menilai jika anggaran subsidi ditekan, maka akan ada ruang fiskal yang lebih besar untuk program kerja yang lain. Penekanan anggaran subsidi BBM bisa dengan mengalihkan subsidi BBM ke sektor yang positif. Jokowi menegaskan selama ini BBM bersubsidi tidak tepat sasaran. Namun demikian hal ini ditolak oleh SBY.
"Saya meminta kepada Presiden SBY untuk menekan defisit APBN dengan menaikan harga BBM. Tapi beliau menyampaikan bahwa saat ini kondisinya dianggap masih kurang tepat untuk menaikan BBM," tambahnya.
Sebelumnya, jatah BBM bersubsidi semakin menipis dan diprediksi akan habis awal Desember 2014, PT Pertamina (Persero) kemudian mengambil langkah memangkas jatah penyaluran BBM bersubsidi baik jenis Premium maupun solar di setiap SPBU mulai 5% hingga 20%. Pemangkasan jatah BBM bersubsidi di SPBU tersebut berdampak pada antrean panjang kendaraan. Masyarakat berbondong-bondong membeli bensin dalam jumlah besar yang berakibat pada habisnya BBM bersubsidi baik itu solar maupun premium di beberapa lokasi SPBU.
Melihat kondisi itu, PT Pertamina (Persero) akhirnya menyetop pengetatan penyaluran BBM subsidi ke SPBU-SPBU setelah ada jaminan dari pemerintah. Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya menjelaskan, kebijakan pencabutan pembatasan kuota ini baru akan terasa dampaknya beberapa hari mendatang.
"Sudah diperintahkan untuk menyalurkan 30% diatas kebutuhan nasional. Jadi kalau kebutuhan normal 81 ribu, sudah diperintahkan tambah 30%," kata Hanung.
Konsekuensinya kuota BBM subsidi 2014 sebanyak 46 juta KL akan melebihi kuota. Sementara, dalam undang-undang APBN Perubahan 2014 ditetapkan kuota BBM tidak boleh melewati 46 juta KL. Bila melebihi, maka tidak akan disediakan anggaran subsidi BBM tambahan.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro kepada VOA melihat hal ini tentu menjadi dilema tersendiri buat pemerintah. Ia memahami sikap penolakan dari Presiden SBY dengan mengurangi jatah subsidi dan menaikan harga BBM karena tentunya membebani masyarakat kecil. Namun disisi lain menurutnya, hal ini akan memberatkan pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo nantinya.
"Yang patut dipikirkan adalah, apa solusi dari kenaikan BBM. Dengan subsidi yang dikurangi artinya uang-uang yang selama ini diperuntukan untuk subsidi dan ternyata salah sasaran itu, lebih dialokasikan untuk pembiayaan program-program yang hendak dilakukan oleh pak Jokowi kedepan. Seperti kartu Indonesia sehat, kartu Indonesia pintar dan pembangunan infrastruktur," ujar Siti.
Siti Zuhro berpendapat, Jokowi tidak perlu ragu untuk mengurangi beban subsidi BBM dengan menaikan harga BBM bersubsidi, asalkan ada komunikasi yang terus menerus kepada masyarakat dan segera merealisasikan program-program kerakyatan.