Presiden Joko Widodo memastikan tidak akan membebaskan napi koruptor, sebagai upaya untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 di dalam lembaga permasyarakatan (lapas). Pembebasan bersyarat itu, kata Jokowi hanya berlaku bagi narapidana umum.
“Tapi tidak bebas begitu saja tentu ada syaratnya, ada kriterianya, ada pengawasannya. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa mengenai napi koruptor tidak pernah kita bicarakan dalam rapat- rapat kita. Jadi mengenai PP 99 tahun 2012 perlu saya sampaikan tidak ada revisi untuk ini. Jadi pembebasan napi hanya untuk napi pidana umum,” tegas Jokowi dalam telekonferensi pers dalam Rapat Terbatas, di Jakarta, Senin (6/4).
Menurut mantan Wali Kota Solo ini, pembebasan narapidana umum tersebut juga dilakukan di negara-negara lain dengan tujuan untuk mencegah penularan virus corona yang lebih luas lagi.
“Berkaitan dengan pembebasan bersyarat napi ini dihubungkan dengan COVID-19. Seperti di negara lain, saya melihat di Iran membebaskan 95 ribu napi, di Brasil 34 ribu napi, di negara lain juga melakukan yang sama. Kita juga minggu lalu, saya sudah menyetujui agar ada juga pembebasan napi karena lapas kita over kapasitas sehingga sangat berisiko mempercepat penyebaran COVID-19,” jelasnya.
Keputusan Jokowi pun diapresiasi oleh sejumlah pihak. Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana lewat pesan singkat kepada VOA mengatakan Menkumham Yassona Laoly harus mendapatkan teguran keras, agar ke depan tidak lagi membuat kebijakan-kebijakan yang pro kepada para koruptor, apalagi di tengah situasi negara yang saat ini sedang menghadapi permasalahan serius seperti COVID-19.
Selain itu, menurutnya Jokowi harus menghentikan laju pembahasan revisi UU Pemasyarakatan.
“Sebab, dalam poin revisi UU Pemasyarakatan keberlakuan PP 99/2012 akan dicabut. Sehingga sama saja, jika pembahasan itu berlanjut maka kebijakan pemerintah tetap menguntungkan pelaku korupsi,” ujarnya.
BACA JUGA: Cegah Corona, 13 Ribu Napi Dibebaskan dari PenjaraKurnia mengatakan ini, bukan kali pertama Yassona mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap napi koruptor. ICW mencatat setidaknya selama Yasonna menjabat sebagai Menkumham (2015-2020), terdapat delapan pernyataan yang mengarah pada kebijakan untuk mengurangi masa hukuman napi koruptor.
“Caranya pun beragam, mulai dari revisi PP 99/2012 sampai pada revisi UU Pemasyarakatan,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu pun mengapresiasi keputusan Jokowi. Namun menurutnya, yang harus diperhatikan adalah kondisi kesehatan napi koruptor itu. “Untuk korupsi, bagi ICJR yang penting dia tidak rentan, kalau rentan maka ada opsi lain, seperti dibantarkan dulu ke rumah sakit. Ini mekanismenya sudah ada, jadi tidak perlu bebas juga, intinya harus segera, jangan lambat,” ujarnya melalui pesan singkat kepada VOA.
Lanjutnya, yang terpenting adalah pemerintah mempunyai target dan protokol yang jelas dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di dalam lapas.
“Intinya adalah segera keluarkan berdasarkan assesment yang jelas. Kita sudah pernah ajukan misalnya berdasarkan vulnerability-nya, khususnya anak-anak, orang tua, ibu dengan anak, victimless crime terkhusus narkotika dan beberapa kategori napi lainnya,” ungkap Erasmus.
BACA JUGA: Yasonna Bantah Cari Peluang Bebaskan Koruptor di Tengah WabahSebelumnya, Kemenkumham menyatakan akan mengeluarkan dan membebaskan sekitar 30.000 narapidana dan anak-anak dari tahanan dalam rangka mencegah penyebaran virus corona. Namun, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Menkumham Yassona Laoly menyampaikan rencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Hal itu dikarenakan napi koruptor dan narkotika, yang tata laksana pembebasannya diatur lewat PP itu, tidak bisa ikut dibebaskan bersama 30.000 napi lainnya. [gi/ab]