Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia akan menghadapi lonjakan kasus harian COVID-19 yang disebabkan oleh varian omicron dalam beberapa pekan ke depan. Belajar dari gelombang sebelumnya, pemerintah mengklaim sudah lebih siap dalam menghadapi ledakan kasus.
Ia menjelaskan pemerintah akan melakukan strategi yang berbeda dari sebelumnya, mengingat varian omicron ini memiliki tingkat keparahan dan kematian yang lebih rendah dari varian delta. Adapun salah satu strateginya adalah dengan memaksimalkan layanan telemedicine atau aplikasi layanan kesehatan jarak jauh bagi pasien omicron yang tidak bergejala atau memiliki gejala ringan yang sedang melakukan isolasi mandiri di rumah.
“Tak semua kasus COVID-19 varian omicron membutuhkan layanan langsung karena gejalanya tidak membahayakan. Yang paling penting meminimalkan kontak. Ini akan mencegah penyebaran yang lebih luas. Ketika hasil tes PCR saudara positif tanpa ada gejala, silahkan melakukan isolasi mandiri di rumah selama lima hari, bila ada gejala batuk, pilek, atau demam, silahkan gunakan layanan telemedicine atau ke puskesmas, atau ke dokter terdekat,” ungkap Jokowi dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Jumat (28/1).
Menurutnya, hal ini akan membuat beban di fasilitas kesehatan dari mulai puskesmas hingga rumah sakit menjadi berkurang. Nantinya, fasilitas kesehatan dapat lebih fokus untuk menangani pasien COVID-19 dengan gejala sedang hingga berat dan pasien dengan penyakit lain yang membutuhkan layanan intensif.
“Terakhir saya minta Bapak, Ibu dan Saudara-saudara sekalian tetapi tenang, tidak panik, laksanakan selalu protokol kesehatan, kurangi aktivitas yang tidak perlu, saya mengajak saudara-saudara sekalian menjaga kesehatan diri masing-masing sebaik-baiknya untuk meningkatkan imunitas,” tuturnya.
Kasus Omicron di Indonesia
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan per 26 Januari pasien COVID-19 di Indonesia mencapai 7.688 orang. Ia menjelaskan, untuk saat ini total tempat tidur isolasi yang sudah siap untuk dipakai sebanyak 80 ribu. Angka tersebut, kata Budi, masih bisa naik sampai ke level 120 ribu hingga 130 ribu.
Lebih jauh Budi menjelaskan, dari jumlah pasien COVID-19 tersebut di atas, ada 1.988 yang terinfeksi varian omicron. Adapun jumlah pasien omicron yang dirawat mencapai 854 orang dan sebagian besar sudah sembuh.
Jika ditelusuri lebih lanjut, mayoritas pasien omicron yang dirawat tersebut tidak bergejala dan memiliki gejala ringan, dimana hanya 59 pasien yang masuk kategori sedang hingga berat.
“Jadi angka 7.688 yang dilihat sebagian besar sebenarnya tidak perlu dirawat di RS. Kita memahami bahwa orang-orang masih trauma di Juli lalu, bahwa kalau kita kena musti ke RS. Sebenarnya guidancenya kalau saturasinya masih di atas 95 persen dia bisa di rawat di rumah dan kita sudah memberikan layanan telemedicine, dia bisa kontak, dan bisa dirawat secara remote oleh dokter-dokter telemedicine dan bisa kirimkan obat,” ungkap Budi.
Sejauh ini, pasien omicron yang meninggal mencapai tiga orang. Satu dari tiga orang tersebut belum mendapatkan vaksinasi COVID-19.
BACA JUGA: Kasus Omicron Melonjak, Pemerintah Belum Akan Terapkan Lockdown“Jadi kesimpulannya, yuk kita cepat-cepat vaksin, karena 30 persen dari yang meninggal itu belum divaksin. kemudian usianya, lansia 60 persen. Jadi perlu dipastikan bahwa kita perlu memastikan lansia di rawat dengan baik. Dan divaksinasi, dan kalau ada lansia yang kumorbid yang kena, itu diprioritaskan untuk dikirim ke rumah sakit,” tuturnya.
Indonesia Dalam Kondisi Rawan
Ahli Epidemiologi Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan meskipun biasanya dicirikan dengan gejala ringan atau tanpa gejala sama sekali, infeksi omicron bukan berarti tidak berbahaya. Menurutnya, dampak omicron di setiap wilayah atau negara akan berbeda, dan salah satunya bergantung kepada tingkat imunitas di negara tersebut.
Semakin kecil imunitas masyarakat baik yang berasal dari infeksi alamiah maupun vaksinasi, maka dampaknya tentu akan sangat fatal.
“Oleh karena itu, dengan memahami konteks yang sebenarnya seperti itu, saya mengingatkan kita harus hati-hati karena cakupan lansia kita yang divaksinasi dua dosis baru 50 persen apalagi booster. Jadi rawan dan ini baru awal, jadi menurut saya masih terlalu dini kalau dikatakan kita dalam konteks, jangan khawatir misalnya, tapi harus sangat waspada,” ungkap Dicky kepada VOA.
Selain itu, dengan masih banyaknya kelompok rentan yang belum mendapatkan vaksinasi lengkap maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi keparahan, kematian dan tingkat perawatan rumah sakit yang melebihi varian delta.
“Oleh karena itu proteksi penting dari sekarang karena potensi ledakan hunian RS dan fatalitas besar dari kelompok itu nantinya. Ini karena mereka sangat rentan, selain imunitas, dia dikelilingi orang dewasa yang bisa jadi belum divaksinasi makanya ini harus ditingkatkan akselerasi vaksinasi ini di masayarakat terutama dua dosis,” jelasnya.
BACA JUGA: Daerah Bersiap Hadapi Lonjakan OmicronLebih jauh, Dicky menjelaskan melandainya kurva omicron tidak akan terjadi dengan cepat. Hal ini, tentu berdasarkan seberapa besar imunitas yang dimiliki di suatu daerah atau negara yang terjangkit. Selain itu, meskipun nantinya puncak atau gelombang omicron telah terlewati, dampak yang ditimbulkannya masih akan cukup serius.
“Dan ingat bicara pandemi, kalau sudah melewati puncak lalu selesai? engga seperti itu. gelombang atau puncak berakhir itu buat omicron belum tentu menghentikan dampaknya, karena misalnya legging indikator seperti kematian terutama apalagi kalau long covid panjang ceritanya dan timbulnya varian baru. Jadi skenario seperti ini harus dipertimbangkan sehingga kita tidak over confident, tidak abai dan selalu siap dengan skenario terburuk,” pungkasnya. [gi/ab]