Presiden Joko Widodo mengimbau masyarakat untuk mengurangi mobilitas seiring dengan adanya tren kenaikan kasus COVID-19 di Tanah Air yang disebabkan oleh varian omicron. Untuk meminimalisir terjadinya penularan, Jokowi juga mengimbau perusahaan untuk kembali lagi mengambil opsi bekerja dari rumah (work from home) apabila dimungkinkan.
“Jika Bapak, Ibu dan saudara-saudara sekalian tidak memiliki keperluan yang mendesak sebaiknya mengurangi kegiatan di pusat-pusat keramaian. Dan untuk mereka yang bisa bekerja dari rumah, work from home, lakukanlah kerja dari rumah. Saya juga meminta untuk tidak bepergian ke luar negeri jika tidak ada urusan yang penting dan mendesak,” ungkap Jokowi, dalam telekonferensi pers dari Istana Kepresidenan, Bogor, Selasa (18/1).
Meski demikian, katanya, pemerintah cukup siap untuk mengantisipasi ledakan kasus yang diperkirakan terjadi pada Februari-Maret. Namun, ia mengimbau masyarakat untuk tidak panik dan ketakutan yang berlebihan, meski tetap harus waspada
Lebih jauh ia mengungkapkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, varian ini lebih mudah menular dibandingkan dengan varian-varian lainnya, tetapi dengan gejala yang lebih ringan. Para pasien umumnya pulih tanpa harus dirawat di rumah sakit. Namun, kembali ia mengingatkan kewaspadaan dan kehati-hatian masyarakat agar tidak kendor. Disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan adalah harga mati.
“Hal penting lainnya di masa pandemi adalah vaksinasi, yang belum mendapatkan vaksin segeralah untuk divaksin. Yang sudah mendapatkan vaksin pertama segera vaksin untuk yang kedua, yang sudah dua kali vaksin segera cari vaksin ketiga atau vaksin booster. Semuanya gratis karena vaksinasi penting demi melindungi kesalamatan kita semua,” jelasnya.
Bom Waktu
Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menegaskan pemerintah perlu memperkuat strategi 3T, terutama testing dan tracing, dalam menghadapi varian omicron.
Ia menjelaskan, strategi 3T yang dilakukan oleh pemerintah sudah terbukti tidak memadai dan pasif. Hal ini, katanya, akan membuat sebaran kasus menjadi semakin tidak terkendali, apalagi 90 persen pasien omicron bergejala ringan dan tanpa gejala sama sekali.
“Satu hal yang ingin saya ingatkan bahwa ketika kita gagal mendeteksi kita menyimpan bom waktu masalah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,” ungkapnya kepada VOA.
Ia menjelaskan, dampak jangka pendek yang akan ditimbulkan adalah penularan yang cukup masif kepada kelompok masyarakat rentan seperti lansia, dan yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid, dan anak-anak lantaran ketidaktahuan status pasien omicron yang tidak bergejala atau bergejala ringan. Akibatnya, seperti yang terjadi di banyak negara, kelompok rentan tersebut banyak yang masuk unit perawatan intensif (Intensive Care Unit/ICU) dan akhirnya meninggal.
“Dan terutama yang harus diwaspadai banyak kelompok di kita yang masuk ketagori berisiko tinggi belum divaksinasi, seperti anak-anak atau bayi, ibu hamil. Ini akhirnya seperti yang terlihat di banyak negara, kasus omicron 20 persen lebih berat dampaknya pada anak dibandingkan delta karena mayoritas belum divaksinasi dan akhirnya kematian pada anak bahkan di Australia lebih signifikan terjadi setelah omicron,” jelasnya.
Dampak jangka pendek lainnya adalah potensi kurangnya sumber daya manusia (SDM) di berbagai sektor esensial, seperti sektor kesehatan dan pelayananan publik. Dengan semakin banyaknya orang terinfeksi pada berbagai sektor penting tersebut, maka tidak mungkin dapat menganggu sistem pelayanan kesehatan masyarakat dan di luar sektor itu karena akan semakin banyak yang harus dikarantina.
“Ini membuat faskes menjadi kurang tenaga kesehatan, guru tidak ada di sekolah, atau misalnya pekerja mall dan lain-lain berkurang. Ini terjadi di semua negara, yang akhirnya membuat kolaps. Ini seperti yang saya rasakan sendiri di Australia stok makanan berkurang, dan untuk testing sulit karena tenaga kesehatan banyak yang sakit,” tuturnya.
Untuk jangka menengah, kata Dicky, virus ini akan memiliki potensi untuk bermutasi kembali menjadi varian yang bisa saja lebih parah dibandingkan varian sebelumnya. Apalagi, saat ini sudah banyak masyarakat yang abai dalam menerapkan protokol kesehatan, dan ini tentu saja akan memburuk situasi pandemi ke depannya.
“Jangka panjang dari minimnya deteksi adalah melahirkan satu tsunami long COVID, di mana orang-orang yang terinfeksi dan tidak mengetahui terdeteksi itu. Akhirnya sekitar 20-30 persen mengalami long COVID yang berpotensi menganggu atau ada kerusakan di organ vital,” pungkasnya. [gi/ah]