Presiden Joko Widodo menyatakan transisi menuju penggunaan energi baru dan terbarukan di Indonesia dan dunia tidaklah mudah. Ia menjelaskan, isu tersebut sudah dibahas berulang kali di ajang G20 dan COP-26. Namun sampai acara tersebut berakhir belum juga diperoleh peta jalan yang jelas untuk mengatasi permasalahan ini. Bahkan dirinya juga ditanya oleh para pemimpin dunia lainnya, mengapa target Indonesia untuk mencapai nol emisi karbon lebih lambat dari negara lain.
“Saya sendiri ditanya waktu di G20 oleh PM Boris Johnson. (Saya) menyampaikan, kalau untuk net zero emission, Indonesia nanti di 2060. Kok gak bisa maju? Yang lainnya 2050? Ya gak apa-apa, yang lain kalau hanya ngomong saja saya juga bisa. Tapi road map-nya seperti apa? Peta jalannya seperti apa?,” ungkap Jokowi dalam acara Peresmian Pembukaan The 10th Indonesia Ebtke Conex 2021, di Istana Negara, Jakarta, Senin (22/11).
Lebih jauh, Jokowi menjelaskan sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memanfaatkan EBT dalam kehidupan sehari-hari mulai dari hydropower, geothermal, bayou, solar panel, biofuel, dan arus bawah laut yang jumlahnya setara dengan 418 giga watt.
Meski begitu, transisi energi ini memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Nantinya, ujar Jokowi, akan terdapat selisih harga yang cukup besar antara energi fosil dan EBT yang tidak bisa ditanggung oleh pemerintah dan juga masyarakat.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun mempertanyakan kepada para pemimpin dunia mengenai bagaimana cara untuk mengatasi permasalahan ini.
BACA JUGA: Indonesia-Selandia Baru Terus Kembangkan Kerja Sama di Bidang Energi Terbarukan“Misalnya pendanaan datang, investasi datang, kan harganya tetap lebih mahal dari batu bara. Siapa yang membayar gap-nya ini? Siapa? Ini yang belum ketemu. Negara? Kita? Gak mungkin, angkanya berapa ratus trilun, gak mungkin. Atau dibebankan ke masyarakat? Tarif listrik naik? Juga tidak mungkin. Ramai nanti, kegegeran kalau terjadi seperti itu karena kenaikannya akan sangat tinggi sekali. Naiknya 15 persen saja demo-nya tiga bulan. Ini naik dua kali, tidak mungkin,” jelasnya.
Uji Coba Hydropower
Perlahan namun pasti, ujar Jokowi, Indonesiaakan melakukan transisi ke penggunaan EBT. Pihaknya akan melakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Sungai Kayan, Kalimantan Utara, yang berpotensi menciptakan 13 ribu megawatt dan sungai Memberamo di Papua yang diperkirakan bisa menghasilkan 24 ribu megawatt.
Ia pun menginstruksikan kepada jajarannya untuk mencari investor guna membangun pembangkit listrik tenaga air yang membutuhkan biaya yang sangat besar itu. Meski begitu, ia yakin akan banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia untuk menciptakan energi yang lebih ramah lingkungan.
BACA JUGA: Sejumlah Perusahaan Inggris akan Investasi dalam Proyek Ramah Lingkungan IndonesiaJokowi mencontohkan, pembangunan kawasan industri hijau (green industrial park) di Kalimantan Utara yang akan mulai dilakukan pada Desember nanti, ternyata telah menarik banyak minat investor, meskipun nantinya harga produk yang dihasilkan akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang berasal dari energi fosil.
“Kalau ini jalan mungkin skenarionya akan lebih mudah. Tapi kalau satu ini gak jalan, kalau kita mengharapkan global , gratisan juga gak mungkin mereka memberikan atau nombokin yang gap ini tadi. Kita sudah berbicara dengan World Bank, investor dari Inggris juga waktu kita di Glasglow. Pertanyaannya pasti ke sana, siapa yang menanggung itu?,” tuturnya.
Maka dari itu, ia meminta kepada seluruh pihak untuk bekerja sama dalam merumuskan skenario transisi ke pengunaan EBT secara lebih detail dan konkret agar pelaksanaannya bisa dilakukan dengan lebih cepat di tanah air.
BACA JUGA: Resmikan Pabrik Biodiesel, Jokowi Ingin Segera Tinggalkan Penggunaan Bahan Bakar Fosil“Saya akan ngomong ke semua pemimpin G20, saya tidak mau kita bicara lagi kayak tahun lalu. Saya ingin pertanyaannya ini, ada kebutuhan dana sekian, caranya apa yang bisa kita lakukan. Kalau ada, berarti bisa menyelesaikan transisi energi, kalau engga ya kita gak usah bicara, pusing sendiri tapi tidak ada hasil,” jelasnya.
Kebijakan Pemerintah Tidak Memihak Penggunaan EBT
Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengatakan sebenarnya selisih harga antara energi fosil dan EBT tidak akan terlalu jauh nantinya apabila didukung dengan regulasi pemerintah yang memihak kepada penggunaan EBT.
Dila menjelaskan harga EBT di tanah air cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil karena subsidi pemerintah terhadap energi batu bara ini masih tinggi apalagi ditambah dengan adanya Undang-Undang (UU) Omnibus Law dan UU Minerba.
Tambahnya, banyak indikator yang tidak dimasukkan ke dalam harga listrik yang dihasilkan oleh PLTU batu bara seperti ongkos polusi udara sehingga banyak PLTU yang tidak pengawas polusi udara yang baik dan benar.
“Coba kalau diperketat, seperti standar di Jepang dan China, harga listrik dari PLTU pun akan mahal, karena harus memasang air pollution control. Dan pasti ke depannya, operasional PLTU ini akan semakin mahal dari EBT, dilihat dari semakin ketatnya regulasi lingkungan, termasuk carbon tax, lalu harga batu bara yang fluktuatif dan proven reserve-nya semakin sedikit akan menaikkan ongkos,” ungkap Dila kepada VOA.
Your browser doesn’t support HTML5
Jika dilihat dari sisi harga, EBT secara global sudah mengalami penurunan. Ia mencontohkan energi surya sudah turun sebanyak 90 persen dalam satu dekade terakhir. Selain itu, katanya, harga solar juga sudah turun sebanyak 75 persen dari tahun 2015, yang bahkan sudah menyaingi harga levelized cost of energy (LCOE) dari batu bara itu sendiri.
“Kita ambil contoh di Cirata, saat ini 5.8 cents/kWh. Sementara LCOE PLTU batubara di Indonesia ada pada kisaran 6-8.2 cents/kWh. Sehingga sudah bersaing,” tuturnya.
BACA JUGA: Pakar Rekomendasikan Indonesia Segera Bangun PLTNEBT, ujar Dila, memang membutuhkan investasi awal yang lebih tinggi dibandingkan dengan batu bara. Namun dalam jangka panjang, ia yakin harganya akan jauh lebih murah dan akan banyak keuntungan yang dirasakan baik oleh pemerintah dan masyarakat dengan masifnya penggunaan EBT di masa depan.
“Jadi, pemerintah jangan melihatnya dalam jangka pendek saja bahwa itu mahal, tapi harus dilihat keuntungan jangka panjang, dan benefit-benefit lain yang akan didapat, seperti benefit lingkungan, benefit branding Indonesia dan produknya yang akan lebih bersaing di global karena green (ramah lingkungan),” pungkasnya. [gi/ab]