Junta militer Myanmar pada Jumat (23/12) mengecam resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan diakhirinya kekerasan dan pembebasan pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi. Junta juga menuduh badan itu berusaha “menggoyah” negara.
Dewan Keamanan PBB pada Rabu (21/12) mengadopsi resolusi pertamanya tentang situasi di Myanmar yang dilanda kekacauan setelah kudeta militer 1 Februari 2021. Sekutu Myanmar – Rusia dan Tiongkok – memveto dokumen itu.
Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 orang itu selama beberapa dekade memiliki pandangan berbeda mengenai Myanmar, dan sebelumnya hanya dapat menyepakati pernyataan resmi tentang negara itu.
BACA JUGA: DK PBB Sahkan Resolusi yang Mendesak Myanmar agar Akhiri KekerasanKementerian Luar Negeri Myanmar dalam sebuah pernyataan mengatakan resolusi itu berisi “beberapa elemen yang mengganggu urusan dalam negeri Myanmar yang dinilai bertentangan dengan prinsip dan tujuan PBB.” Ditambahkan, “memberikan tekanan untuk mendestabilisasi Myanmar dibanding mendukung upaya pemerintah untuk membantu negara itu; dan Myanmar tidak menerima tindakan seperti itu.”
Teks itu diadopsi dengan dukungan 12 suara. Anggota tetap Dewan Keamanan – Rusia dan China – memilih abstain dan tidak menggunakan veto setelah amandemen itu disusun. India juga abstain.
Dalam pernyataan hari Jumat junta militer Myanmar mengulangi klaimnya atas dugaan meluasnya penipuan dalam pemilu November 2020, yang dimenangkan oleh Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi NLD pimpinan Suu Kyi.
Pengamat internasional menilai pemilu itu umumnya bebas dan adil.
Suu Kyi, yang berusia 77 tahun, telah menjadi tahanan sejak militer menggulingkan pemerintahannya hampir dua tahun lalu.
Menurut kelompok-kelompok pemantau lokal, tindakan keras militer terhadap demonstran pro-demokrasi telah menewaskan lebih dari 2.500 orang. [em/ah]