Pertemuan masyarakat sipil ASEAN dalam isu perempuan, perdamaian dan keamanan di Yogyakarta pekan ini memberikan perhatian khusus terhadap Myanmar. Junta militer dinilai menyuburkan kejahatan perdagangan orang.
Penilaian bahwa konflik di Myanmar telah menciptakan situasi yang mendukung praktik perdagangan orang, disampaikan Debbie Stothard, koordinator dari Alternative ASEAN Network on Burma. Debbie berbicara secara daring, dalam pertemuan organisasi masyarakat sipil ASEAN, yang diselenggarakan di Yogyakarta, 4-5 Juli 2023.
Dia menyatakan, konflik dan kekerasan di Myanmar telah menyasar perempuan dan warga sipil dan membuat mereka lebih rentan terhadap perdagangan manusia. Namun lebih dari itu, Debbie melihat perkembangan yang dia sebut aneh.
“Di mana dalam konflik ini, junta yang ilegal telah membiarkan sindikat kriminal beroperasi di Myanmar,” kata Debbie.
Dia juga mengatakan, “Sekarang kita melihat ada warga negara ASEAN dari Philipina, dari Indonesia, dari Malaysia, dikirimkan ke Myanmar untuk tujuan kriminal, dan banyak dari mereka dipaksa bekerja dalam kejahatan dunia maya.”
Karena itulah, Debbie dan pegiat organisasi masyarakat sipil yang bertemu di Yogyakarta ini sepakat mendesak ASEAN bertindak.
Pertemuan masyarakat sipil ASEAN ini diselenggarakan sejumlah organisasi seperti AMAN Indonesia, Migrant Care, The Working Group on Women and PCVE, Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP), Southeast Asia Women Peacebuilders, Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA), Asia Democracy Network (ADN), dan Southeast Asia Network of Freedom Expression (SAFENet). Topik yang dibicarakaan adalah “Building Resilient Communities: Applying an Intersectional Perspective in the Regional Plan of Action on Women, Peace, and Security”.
Your browser doesn’t support HTML5
Sejumlah isu-isu krusial dibicarakan, seperti perubahan iklim, kekerasan dan ekstrimisme, keamanan siber, pandemi, serta migrasi dan krisis kemanusiaan khususnya terkait Myanmar. Hasil rekomendasi pertemuan ini akan disampaikan kepada pemerintah Indonesia untuk pertemuan tinggi ASEAN akhir tahun ini.
Kredibilitas ASEAN Dipertanyakan
Perempuan, perdamaian dan keamanan adalah isu yang saling berkelindan, khususnya yang terkait dengan Myanmar. Stabilitas kawasan ini ke depan, ditentukan oleh kemauan ASEAN untuk memperoleh kredibilitasnya kembali, dalam menyelesaikan persoalan di kawasan tersebut.
Debbie Stothard yang juga sekretaris jenderal di International Federation for Human Rights menambahkan, sejak kudeta militer terhadap pemerintahan sah hasil Pemilu terjadi pada 2021, konflik semakin meningkat di Myanmar. ASEAN telah menelurkan lima poin konsensus, tetapi gagal melaksanakannya.
“ASEAN telah kehilangan banyak kredibilitas dan legitimasi secara regional dan internasional, karena belum mampu menangani masalah ini karena kurangnya keinginan politis,” kata Debbie.
Debbie juga mengatakan, banyak orang lebih mengarahkan perhatian kepada konflik di Ukraina. Padahal, kekejaman junta militer di Myanmar menimbulkan korban dua kali lipat lebih banyak.
Dalam perkembangan lain, perempuan Myanmar belakangan juga tampil sebagai pemimpin masyarakat, untuk menyuarakan perlawanan kepada militer. Tidak mengherankan, jika junta mengarahkan operasinya untuk membungkam suara perempuan. Karena itulah, isu perempuan, perdamaian dan keamanan semakin strategis dibicarakan masyarakat sipil di ASEAN.
Perdagangan Orang Meningkat
Wahyu Susilo dari Migrant Care juga menyoroti persoalan ini. Dia mengatakan, pandemi COVID 19 telah menurunkan kualitas demokrasi di kawasan ASEAN. Namun, apa yang terjadi di Myanmar memperparah situasi.
Dia mengatakan, selalu terjadi peningkatan kasus-kasus perdagangan orang di negara-negara di mana hukum tidak berjalan.
“Ketika hukum sangat lemah, tidak ada kontrol dari masyarakat, korupsi menggurita, dan secara vulgar ini diperlihatkan dari peningkatan angka-angka kasus human trafficking yang memanfaatkan teknologi digital di Mekong region,” kata Wahyu.
Saat ini ada fenomena, dimana ratusan atau bahkan ribuan orang Indonesia terjebak di kamp-kamp penampungan pelaku kejahatan penipuan daring di Myanmar. Hal ini, kata Wahyu, menunjukkan bahwa sindikat pelaku perdagangan manusia bisa beroperasi, karena negara kekuasaan di negara itu bertindak otoriter.
“Dan inilah yang menyadarkan kami, ada relasi yang kuat antara isu migrasi dan isu security, juga sebagian besar korban dari human trafficking ini adalah perempuan dan anak,” tambahnya.
ASEAN sebagai Komunitas
Sementara, berbicara daring dari Philipina, Safina Maulida pegiat di Initiatives for International Dialogue menyampaikan harapan, diskusi masyarakat sipil kali ini memiliki keterkaitan kuat dengan apa yang terjadi di lapangan.
“Jadi kami sangat berharap dengan adanya Regional Plan of Action on Women, Peace, and Security (RPA WPS) ini bisa beradaptasi dengan keadaan yang terjadi di Myanmar, misalnya. Benar-benar beradaptasi dengan konflik yang terjadi on the ground, dan berdiri bersama komunitas,” ujarnya.
Safina mengingatkan, bahwa ASEAN telah mengatakan diri sebagai sebuah komunitas. Karena itu, harus muncul pertanyaan kritis, apakah ASEAN saat ini telah berdiri bersama komunitasnya. Meski begitu, dia juga menekankan bahwa tujuan yang diharapkan oleh masyarakat sipil tidak akan tercapai, apabila negara-negara anggota ASEAN tidak mendukung prinsip-prinsip demokrasi.
Apa yang terjadi di Myanmar, menggambarkan situasi tersebut.
“Bahwa krisis migrasi dan perdagangan orang di Asia, terutama di Mekong region, itu sangat berhubungan dengan krisis di Myanmar,” tegasnya lagi. [ns/ab]