Organisasi massa dan warga masih menjadi pelaku dominan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 20 kasus kekerasan jurnalis yang melibatkan ormas dan warga pada 2018. Terbaru kasus kekerasan terhadap beberapa jurnalis yang meliput malam "Munajat 212" di lapangan Monas pada Kamis (21/2) malam.
Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani mengatakan kasus-kasus tersebut telah memunculkan kegelisahan di kalangan jurnalis. Karena itu, kata dia, perlu upaya bersama untuk mencegah kekerasan tersebut, terutama menjelang pemilu. Sehingga jurnalis yang meliput pemilu dapat bekerja dengan baik dan hak warga untuk mendapatkan informasi tidak hilang.
"Terkait dengan aksi kekerasan ini, AJI meminta jurnalis untuk bersatu. Manajemen juga harus satu suara, jika ada kasus harus diusut sampai ke kepolisian supaya ada efek jerah," jelas Asnil Bambani di kantor AJI Jakarta, Minggu (3/3).
Asnil Bambani menambahkan kekerasan terhadap jurnalis ini dapat memperburuk indeks kebebasan pers Indonesia. Organisasi pemantau media yang berbasis di Paris yakni RSF menempatkan Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara. Posisi ini jauh di bawah Timor Leste yang ada di peringkat 93.
Sementara Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menjelaskan kekerasan yang dilakukan ormas dan warga terhadap jurnalis dapat dikategorikan sebagai sensor terhadap produk jurnalistik. Menurutnya, hal tersebut termasuk dalam pelanggaran pidana karena melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menghalangi kemerdekaan pers dalam UU Pers yaitu penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Pastikan Remisi Pembunuh Jurnalis Batal"Kita tahu banyak kasus kekerasan yang sangat jarag diselesaikan. Karena memang pelakunya ada organisasi, ada pejabat publik. Dan itu dugaan kami, itu yang menjadi penghambat kenapa pihak kepolisian menyelesaikan itu. Padahal efek dari penyelesaian kasus itu sangat baik untuk menekan kekerasan pada tahun berikutnya," jelas Ade.
Ade Wahyudin berpendapat perlu ada komitmen dari semua pihak untuk mendukung iklim kebebasan pers di Indonesia. Antara lain dari aparat, ormas dan terutama dari perusahaan media yang mempekerjakan jurnalis.
Protokol Keamanan Jurnalis
Sekjen Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhiyatmika menuturkan tidak mudah mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kebebasan pers. Karena itu, menurutnya perlu kekompakan dari jurnalis untuk melawan kekerasan. Di samping itu, kata dia, perusahaan media juga perlu menyiapkan protokol keamanan bagi jurnalis.
"Jikapun teman-teman di medianya tidak ada protokol atau SOP. Prinsip yang paling utama adalah begitu ada ancaman, maka atasan langsungnya atau redakturnya harus segera mengambil alih risiko itu," tutur Wahyu.
Your browser doesn’t support HTML5
Wahyu mengatakan AMSI bersama AJI dan perusahaan media, serta lembaga lain juga tengah menyusun protokol keamanan bagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan yang akan dipublikasikan dalam waktu dekat. Ia mencontohkan salah satu poin yang akan berada di protokol tersebut yaitu rumah aman bagi jurnalis.
"Secara garis besar, protokol ini akan melibatkan media untuk bersama-sama memikirkan sebuah dana bersama yang bisa dipakai semua wartawan yang menjadi wartawan. Misalnya ada satu wartawan yang melakukan liputan tertentu diteror atau diancam dia bisa pindah ke rumah aman ke kota atau negara lain," tambah Wahyu Dhiyatmika.
Ia berharap dengan adanya mekanisme perlindungan terhadap jurnalis nantinya dapat menghilangkan ketakutan jurnalis menulis berita di tengah ancaman kekerasan dari ormas dan warga. (sm/....)