Sekjen AJI Revolusi Riza mengatakan hasil rekapitulasi AJI Indonesia mencatat ada 14 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di berbagai daerah selama sepekan terakhir. Antara lain di Jakarta, Makassar, Palu dan Jayapura.
Sepuluh kasus di antaranya terjadi saat meliput demo penolakan RKHUP dan pelemahan KPK pada 23-26 September 2019. Dari sepuluh kasus tersebut, sembilan pelakunya diduga anggota Polri dan satu lainnya yaitu massa aksi.
BACA JUGA: Komnas HAM Desak Polisi Selidiki Tewasnya 2 Mahasiswa dan 1 Pelajar Dalam Demonstrasi"Atas serangkaian kasus yang terjadi, ini semakin menguatkan bahwa tuntutan reformasi yang 21 tahun lalu disampaikan bahwa harus ada reformasi terhadap polisi ini layak untuk segera dilaksanakan," jelas Revolusi Riza di Jakarta, Jumat (28/9/2019).
"Polisi kami lihat dalam beberapa waktu terakhir sering melampaui kewenangannya dalam menangani aksi-aksi yang dilakukan masyarakat dan juga penanganan terhadap wartawan atau jurnalis yang meliput di lapangan," tambah Revo.
Revo menjelaskan bentuk kekerasan tersebut berupa pemukulan, intimidasi dan penghapusan video rekaman. Kekerasan ini dipicu sikap polisi yang tidak terima ketika jurnalis merekam aparat yang sedang melakukan kekerasan terhadap massa aksi.
Kasus kekerasan jurnalis berupa penghalangan liputan juga menimpa 3 jurnalis di Jayapura yang hendak meliput Posko Eksodus Mahasiswa di halaman Auditorium Universitas Cendrawasih pada 23 September 2019. Mereka diintimidasi dan dilarang meliput oleh aparat kepolisian.
Selain kekerasan terhadap jurnalis karena kegiatan jurnalistik, AJI juga menyoroti kriminalisasi yang dilakukan polisi terhadap jurnalis Dandhy Dwi Laksono karena cuitan soal Papua. Menurut Revo, cuitan Dandhy merupakan bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi konstitusi Indonesia.
"AJI Indonesia mendesak supaya polisi mencabut status tersangka yang diberikan kepada Dandhy dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum yang berlaku," jelas Revolusi Riza.
Sementara itu, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mendorong, para jurnalis yang mengalami kekerasan untuk melapor ke kepolisian. Hal ini untuk mencegah kasus kekerasan terulang kembali di kemudian. Ade juga mendorong Dewan Pers segera berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengusut kasus-kasus kekerasan yang dialami jurnalis sepanjang aksi tolak RKUHP dan pelemahan KPK.
"Kami selalu mengingatkan dan mengimbau untuk tidak takut melaporkan atau bersuara yang dialami jurnalis atau media. Baik itu kekerasan, intimidasi, penghalangan kerja jurnalistik, karena dengan bersuara impunitas kekerasan jurnalis dapat dikurangi," jelas Ade Wahyudin kepada VOA, Sabtu (28/9/2019).
Ade Wahyudin menambahkan lembaganya juga mendorong Kapolri untuk meningkatkan MoU dengan Dewan Pers menjadi peraturan Kapolri (Perkap). Menurutnya, Perkap tersebut untuk memastikan personel Polri bisa dikenakan sanksi jika tidak mematuhi ketentuan seperti yang tertuang dalam MoU Dewan Pers.
Tanggapan Polri
Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengajak komunitas pers untuk mencari solusi bersama untuk mencegah kekerasan terhadap jurnalis terulang kembali. Langkah tersebut bisa dilakukan dengan menggelar diskusi bersama dan membuat standar prosedur bagi jurnalis dan polisi.
"Kita buat FGD dulu kalau situasi sudah reda untuk sama-sama membuat SOP sebagai pedoman bersama. Sehingga Pemred, Humas dan wilayah punya tanggung jawab bersama. Saya sedih kalau itu terjadi terus. Karena saya sudah bagian dari teman-teman pers," jelas Dedi melalui pesan online, Jumat (27/8/2019).
BACA JUGA: Meski Bebas, Penangkapan Dhandy dan Ananda Diduga Salahi ProsedurDedi mengatakan lembaganya juga tidak keberatan MoU dengan Dewan Pers direvisi menjadi lebih baik. Sementara terkait kasus Dandhy, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono belum bisa memastikan akan menghentikan kasus tersebut atau tidak. Menurutnya, kewenangan untuk meneruskan atau menghentikan penyidikan berada di penyidik.
"Dia mengambil foto-foto di media sosial kemudian diambil terus diupload dan diberi keterangan tentang foto itu. Jadi foto dan keterangannya diragukan kebenarannya. Berbeda dengan mengambil foto sendiri di lokasi kemudian ditulisi sendiri keterangannya," jelas Argo kepada VOA.
Berdasarkan laporan Reporters Without Borders (RSF) pada pertengahan April lalu, indeks kebebasan pers Indonesia berada di peringkat ke-124 dari 180 negara. Peringkat ini stagnan atau tidak ada kemajuan sama sekali dibanding tahun 2018 lalu. Posisi Indonesia juga di bawah Timor Leste yang berada di peringkat ke-84 dan Malaysia di peringkat ke-123. [sm/em]