Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menuding demonstrasi yang dilakukan mahasiswa telah diambil-alih oleh para perusuh yang ingin menggagalkan pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilihan Umum 2019 pada 1 Oktober mendatang dan juga pelantikan presiden dan wakil presiden.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjelaskan ada upaya untuk menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih dengan menciptakan situasi yang rusuh.
Tidak hanya itu, lanjut Wiranto dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Kamis (26/9), para perusuh itu juga ingin menggagalkan pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilihan Umum 2019 pada 1 Oktober mendatang.
Sebenarnya kata Wiranto, pemerintah sangat menghargai upaya koreksi yang dilakukan mahasiswa melalui demonstrasi, sebagai bentuk aspirasi; tetapi kemudian diambil alih untuk kepentingan politik tertentu.
Kelompok perusuh, tambahnya, sudah sedemikian sistematis dan terencana dalam menjalan aksinya untuk melakukan hal yang inkonstitusional. Namun Wiranto tidak bersedia merinci siapa perusuh yang dimaksudnya.
"Kelompok yang mengambil alih bukan murni lagi untuk mengoreksi kebijakan tapi telah cukup bukti mereka ingin menduduki DPR dan MPR agar tidak dapat melaksanakan tugasnya, dalam arti DPR tidak dapat dilantik. Lebih jauh lagi, tujuan akhirnya adalah menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih," kata Wiranto.
Wiranto mulanya memuji demonstrasi mahasiswa yang dilakukan dengan tertib di sejumlah kota pada Senin (23/9) dan Selasa (24/9). Unjuk rasa itu memprotes sejumlah rancangan undang-undang, seperti Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan dan RUU Pemasyarakatan. Mahasiswa juga menolak Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi yang disahkan pada 17 September 2019. Namun demonstrasi bergulir menjadi aksi kekerasan.
Pada kesempatan tersebut, Kepala Kepolisian Jenderal Tito Karnavian menyatakan satu perusuh meninggal dalam kerusuhan di kawasan gedung DPR/MPR kemarin. Dia menambahkan perusuh itu diduga meninggal akibat sesak napas.
"Informasinya sementara ini yang saya terima tadi pagi yang bersangkutan meninggal dunia, bukan pelajar, bukan mahasiswa, tapi kelompok perusuh itu. Dan tidak ada satu pun luka tembak atau luka bekas penganiayaan," ujar Tito.
Tito menuturkan perusuh itu sempat dilarikan ke Rumah Sakit Polri sebelum dinyatakan meninggal. Sebab, menurutnya, perusuh itu ditemukan dalam keadaan pingsan ketika bentrok terjadi di kawasan Slipi, Jakarta.
Dia menyebutkan ketika itu personel gabungan Polri dan TNI tengah memukul mundur massa perusuh yang membakar pos polisi, merusak kendaraan, menutup jalan raya, melempar batu, hingga flare.
Tito menegaskan pihaknya tidak menemukan luka tembak atau kekerasan di tubuh perusuh itu. Terlebih, ia mengklaim telah mengingatkan anak buahnya untuk tidak menggunakan senjata dengan peluru tajam dan peluru karet ketika mengamankan aksi kemarin.
Menkopolhukam Wiranto mengaku menerima informasi bahwa akan ada gelombang baru demonstrasi yang berpotensi berbuntut kerusuhan menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Gelombang baru tersebut melibatkan sejumlah kelompok masyarakat dari berbagai kalangan, mulai kelompok Islam radikal, pengemudi ojek, buruh, hingga pendukung tim sepakbola.
Dia menyebut gerakan yang diprediksi lebih besar ini akan menimbulkan kerusuhan hingga berujung ketidakpercayaan kepada pemerintah yang sah.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam kesempatan itu juga menegaskan bahwa pihaknya telah menginstruksikan kepada semua kepala daerah untuk mencermati perkembangan situasi di daerahnya masing-masing. Dia juga mengimbau semua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk menerima unjuk rasa mahasiswa dan meneruskan aspirasi mereka ke DPR atau pemerintah pusat. Tjahjo menjamin stabilitas politik di daerah terjaga dengan baik.
Ditemui secara terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriani mengecam keras tindakan polisi dalam melakukan pengamanan dan pembubaran yang dipenuhi dengan tindak kekerasan yang tidak proporsional terhadap massa aksi 23-25 September 2019.
Dalam merespon hal tersebut, lanjut Yati, KontraS berinisiatif untuk membuka posko pengaduan bagi siapapun yang merasa hak-haknya dilanggar selama peristiwa aksi massa pada tanggal 23-25. Sejauh ini sudah ada 125 pengaduan yang masuk, mayoritas mengeluhkan tentang aksi kekerasan yang dilakukan sebagian aparat polisi.
Atas pengaduan online yang masuk, Kontras menemukan bahwa mayoritas korban mengalami penganiayaan, tembakan gas air mata, pengeroyokan , tembakan peluru karet dan tembakan gas air mata. [fw/em]