Komisioner Komnas HAM RI, Prabianto Mukti Wibowo, yang menyampaikan hasil kajian itu mengungkapkan permasalahan yang dialami pekerja migran, pekerja rumah tangga dan pekerja prekariat (pekerja tidak menentu) itu berpangkal dari adanya permasalahan struktural, yakni minim atau bahkan tiadanya perlindungan hukum dan kelembagaan yang benar-benar efektif.
Prabianto menjelaskan permasalahan terkait pekerja migran di antaranya adalah kurangnya pelatihan terkait kompetensi pekerjaan dan akses terhadap mekanisme pemulihan bagi calon pekerja migran ketika menghadapi pelanggaran hak-haknya. Mekanisme bantuan hukum yang sudah disediakan bagi pekerja migran belum berfungsi efektif dan maksimal karena minim sosialisasi pada fase pra-keberangkatan serta kelemahan pada aspek penegakan dan pengawasannya.
“Untuk itu tentunya perlu untuk dipertegas kembali kewajiban-kewajiban dari negara dalam hal ini pemerintah di dalam memenuhi hak-hak dari pekerja migran tadi,” kata Prabianto selaku Ketua Tim Sustainable Development Programs (SDGs) dalam kegiatan desiminasi laporan Hasil Kajian Tim SDGs Komnas HAM RI di kanal YouTube Humas Komnas HAM RI, Senin (8/5).
Tujuan kedelapan dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh serta pekerjaan yang layak untuk semua.
Kajian itu juga menemukan belum adanya upaya pemenuhan hak untuk mendapatkan akses pekerjaan yang layak, masih terjadi diskriminasi dalam pekerjaan, terutama bagi pekerja rumah tangga yang tinggal bersama majikan, dan perlindungan yang sama dan setara dengan pekerja lain, di mana pekerja rumah tangga hanya dianggap sebagai ‘pembantu’ dan ‘asisten’ semata.
“Belum adanya kemauan politik yang tegas, baik dari pemerintah maupun DPR, untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan meratifikasi ILO Convention Nomor 189 Tahun 2011,” jelas Prabianto.
Selain itu, tidak ada advokasi hukum dan mekanisme pengawasan yang efektif dari pemerintah terhadap perlindungan bagi pekerja rumah tangga.
Demikian pula dengan pekerja prekariat sebagai pekerja tidak menentu. Hingga kini belum ada definisi hukum tentang pekerja prekariat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berdampak pada ketiadaan perlindungan hukum.
Empat Rekomendasi
Hasil kajian itu menyampaikan empat rekomendasi hukum dan kebijakan di antaranya pemerintah perlu mengintensifkan upaya-upaya agar sesegara mungkin merealisasikan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan meratifikasi konvensi ILO 189 untuk memberikan perlindungan yang maksimal terhadap hak-hak pekerja rumah tangga.
“Pemerintah perlu memberikan prioritas terhadap pembentukan peraturan yang secara khusus mengatur hak-hak pekerja prekariat baik dari aspek pengakuan maupun perlindungan hukumnya, khususnya setelah pengesahan Perpu (Peraturan Pengganti Undang-Undang) Cipta Kerja,” kata Prabianto.
Ia menegaskan perlindungan sosial sepatutnya tersedia untuk semua pekerja, terutama bagi pekerja migran, pekerja rumah tangga dan pekerja prekariat yang dalam laporan itu termasuk pekerja paling rentan. Perlindungan sosial yang dibutuhkan oleh ketiga pekerja tersebut adalah cuti berbayar, jaminan kesehatan dan pensiun.
BACA JUGA: JALA PRT: 400-an Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan pada 2012-2021Kajian itu dilatarbelakangi dampak dari pandemi COVID-19 yang menurunkan kegiatan ekonomi yang berdampak pada terjadinya krisis pekerjaan dan mata pencaharian, ketidak setaraan dalam pasar tenaga kerja dan diskriminasi di dalam kesempatan memperoleh pekerjaan terhadap kelompok disabilitas dan pekerja tidak terampil yang mayoritas bekerja di sektor informal.
Kondisi PRT di Indonesia
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggaraini menilai kajian Tim SDGs Komnas HAM itu sesuai dengan kondisi yang dialami oleh PRT di Indonesia.
“Mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak, tidak ada normatif standar ketenagakerjaan dan mereka rentan berbagai eksploitasi, diskriminasi, kerja paksa dan artinya berada dalam situasi perbudakan modern,” kata Lita Anggraini.
Menurut Lita, pascapengesahan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR RI pada 21 Maret 2023, diharapkan pemerintah dapat segera mengirim Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke DPR RI.
“Yang kita desak sekarang adalah segera pembahasan RUU PPRT ini dilangsungkan sebelum semakin padat agenda-agenda politik, pemilu dan segala macamnya. Jadi kita berharap pada masa sidang Mei-Juni nanti sudah bisa diselesaikan pembahasannya dan diserahkan undang-undangnya,” harap Lita Angraini.
Your browser doesn’t support HTML5
Kemanaker Segera Rampungkan DIM RUU PPRT
Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja, Muhyiddin, menyatakan penyusunan DIM RUU PPRT oleh pihaknya ditargetkan sudah rampung pada Mei.
“Kami sekarang ini di Kementerian Ketenagakerjaan sedang menyusun DIM, tanggapan pemerintah, Insyaallah dalam satu hingga dua Minggu ke depan ini sudah final,” jelas Muhyiddin.
Tanggapan pemerintah itu, menurut Muhyiddin, telah memasukkan apa yang menjadi rekomendasi dari kajian Tim SDGs Komnas HAM seperti pengaturan jenis pekerjaan dan jam kerja, pemenuhan akomodasi tempat tinggal, hari libur serta kesetaraan pekerja rumah tangga dengan pemberi kerja.
Muhyiddin menjelaskan, pekerja rumah tangga di Indonesia diperkirakan mencapai 4,2 juta orang atau sekitar 3 persen dari angkatan kerja sebanyak 132 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja itu, 61 persen bekerja di sektor informal. [yl/lt]