Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengadakan pertemuan, Jumat (6/5), di Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh, dalam upaya mengatur bantuan kemanusiaan untuk Myanmar yang dilanda konflik.
Pertemuan hibrida itu, yang diikuti oleh beberapa peserta melalui video, dihadiri oleh perwakilan tingkat tinggi dari Myanmar dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya, mitra-mitra eksternalnya, badan-badan khusus PBB dan organisasi-organisasi internasional lainnya. Kamboja adalah ketua ASEAN saat ini.
Pertemuan tersebut merupakan bagian dari upaya menghidupkan kembali konsensus lima poin tentang Myanmar yang dicapai oleh ASEAN pada April tahun lalu. Upaya itu dilakukan sebagai tanggapan atas kekerasan yang melanda Myanmar setelah militer pada Februari 2021 merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dan menggunakan kekuatan mematikan untuk meredam penentangan terhadap pengambilalihan itu.
BACA JUGA: Rezim Myanmar Kecam Seruan Malaysia agar ASEAN Bekerja Sama dengan NUGKonsensus tersebut menyerukan penghentian segera kekerasan, dialog di antara pihak-pihak terkait, mediasi oleh utusan khusus ASEAN, pemberian bantuan kemanusiaan dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.
Myanmar menyetujui konsensus tersebut tetapi tidak berusaha keras mengimplementasikannya. Ketidakseriusannya menyebabkan anggota-anggota ASEAN lainnya menghalangi kehadiran para pemimpin Myanmar dalam pertemuan-pertemuan besar kelompok regional itu sejak Oktober lalu.
Pada saat yang sama, perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan militer telah meningkat sampai-sampai beberapa ahli PBB mengatakan negara itu sekarang dalam keadaan perang saudara. Militer Myanmar telah melancarkan operasi skala besar, termasuk serangan udara di beberapa wilayah negara itu sehingga membuat banyak orang terpaksa mengungsi.
BACA JUGA: PM Kamboja Minta Junta Myanmar Beri Akses ke Suu KyiDalam upaya memberantas tempat berlindung kelompok-kelompok bersenjata yang menentangnya, pemerintah menggelar taktik memprihatinkan, termasuk membakar seluruh desa dan membatasi akses ke pasokan penting seperti makanan.
Sekitar 924.800 orang terpaksa mengungsi hingga 25 April, termasuk 578.200 orang yang telah meninggalkan rumah mereka sebagai akibat konflik dan ketidakamanan sejak pengambilalihan militer, menurut penilaian Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan. [ab/uh]